Rabu, 14 Maret 2012

Sebuah pesan yang kau titipkan di lidahku

Sebuah pesan yang kau titipkan di lidahku

oleh Andrie Enrique Ayyas Camarena pada 30 Oktober 2011 pukul 20:52 ·
Sebuah pesan yang kau titipkan  di lidahku


Sejenak, malam menyapa malu malu
Dari batu batu itu dan sunyi,  melingkar tak bertepi 
Merekam bayanganmu, tertangkap dinding kanvas
Mengusap deburan ombak ditengah hati
Dan Sorot mata kelabu,
sebuah strawberry liar di musim semi
Menutup wajah mudamu,
seolah jejak dari foto pertama
Di suatu senja

Malam mulai menua. Berkerut kerut.tersipu malu malu. Wajahnya hangat dan ceria. Dan malam, tetaplah malam. Seperti malam malam sebelumnya. kerap didera rindu. Tak tertahan sepanjang hidupnya. Cahaya bulan berpesta riang. Menjadi ingatan di kepala. Mengikat dan membuang segelas nalar yang menciumi sekujur tubuh. Dan saat aku berdiri di depan lemarimu. kenangan menjadi hidup dan bernafas. Seperti Meletakkan potongan potongan  rindu, yang melampaui sekat sekat nurani. Di lemarimu, tempat menyimpan segala rahasia dan misterimu. pakaian, perhiasan, lalu benda benda kenangan yang sangat pribadi. Di lemarimu, sebagian kehidupanmu  seolah dibekukan. Mereka  hanya duduk di pinggir. Diam. Termenung. Memandangku. Aku butuh waktu lama untuk mencairkan rasaku. Bagai logam yang tiba tiba lumer di tanganku. Ia cair begitu saja. ketika bertemu dengan api yang bergolak di hatiku. Di sini, di kamar kita, adalah tempat kencan terbaik. Ruang untuk berimajinasi. Tempat puisiku meriangkan batin dan menikmati kesendirian. Dan semua tentang kamu, kekasih, ada juga di ruang tamu. Atmosfer wajahmu terasa lekat. Betapa tidak, tamu masuk langsung disambut kecantikan  dirimu dalam foto mungil.

Bagai sebuah lagu hip hop yang riang. Kian jenaka kenanganmu menari. Diiringi adonan suara masakan  yang melamun sendiri. Mereka saling berimpit. Sedetik berikutnya saling menjauh. Berputar seperti gasing. Melompat tinggi. Lalu jatuh dengan lembut. Seringan kapas. Menggoda lidahku. Seperti Semangkuk mie yang terendam dalam kaldu kental panas. Uapnya mengantarkan pesan bahagia. Mie segar dengan kekenyalan yang baik. Kaldu ayam yang dibuat amat serius. Dan telur rebus setengah matang berkumpul dalam suka cita. Memasak puisi dalam wadah rindu . Tak usah jauh jauh makan di luar. Namun cukup di rumah. Sang pemilik hati  akan menyambutku  lebih dari sekedar kawan lama.

Seperti sedang membuka pintu lemari lebar lebar. Lalu  bebas menengok isi pikiran, hati, dan jiwamu. Sering kutemukan bayang bayang kecemasan. Ketakutan. Kegelisahan, dan kegamangan. Tetapi ada pernyataan protes yang khas cara perempuan: halus tapi menusuk. Sering membelalakkan mataku. Aku ingat. ketika kau menceritakan nikmatnya  bruchetta roti yang dulu menjadi makanan petani Italia. Resep nenek moyangmu. “kamu harus coba,”ujarmu, seorang wanita bermoyang Palermo, kelahiran Torino, Italia.Tapi aku cuma memandang wajahmu. Mabuk. Pikiranku masih tertutup selintingann ganja kemarin.

Lalu kau masuk ke dapur. Tidak lama kemudian muncul lagi dengan sebongkah roti besar yang baru saja dikeluarkan dari oven. Bau rotinya segar dan tampangnya begitu menggoda. Seperti tubuhmu. Setelah dipotong potong, roti itu di bubuhi minyak zaitun. Potongan tomat merah, dan butiran rempah  kering. aku menyantapnya dengan rasa penasaran. Segarnya tomat dan minyak zaitun terasa begitu pas bergaul dengan gurihnya Bruchetta . Kau  memandangku  dengan wajah gembira. “ Aku tahu. Kamu pasti suka,” ujarmu, dengan bahasa  yang campur aduk antara bahasa  Inggris, Italia, dan Indonesia.

Bruchetta menjadi pembuka santap malam kami, senin lalu. Selanjutnya kami menyantap beberapa menu lain, seperti fusilli al tono, gnocchi al pomodoro, dan tentu saja pizza. Kau membuat  pizza al Quattro di hatiku. Kulit pizzanya tipis dengan taburan keju. Ketika masuk ke mulut, pizza itu terasa lembut. Rasa gurih dan asinnya sungguh pas. Hampir tidak ada satu rasa yang meneror sendirian di lidah. Kau  mengatakan, rasa masakannya dibuat berdasarkan resep asli Italia. “Rasanya otentik. Aku tidak menyesuaikan rasa masakanku  dengan lidah lokal,”katamu.

Kau dengan antusias menjelaskan secara rinci menu menu yang ada di puisimu. Cara memasaknya. Sampai bumbu dasarnya. Setelah aku selesai menyantap masakannya, kau memandang dan menghampiriku lagi dan bertanya,” apakah kau suka masakanku?”
rasanya seakan memotong lidahku. Ada rasa cemburu dalam masakanmu. Kuahnya  menjadi ingatan. mengikat kenangan sampai mati. Sebelum rindu itu pulang ketengah  ranjang.

Oh, dunia
Kau telah mencuri mataku
Dan meletakkannya di tengah tengah
tumpukkan cahaya bulan
Tak berhenti barang sedetik
Kala malam  menyusul hari
Deretan bunga terdiam, di bawah rintik hujan
Tersaputi cahaya lampu dermaga, seolah bergerak
Menyongsong akhir perjalanan
Menuju perjalanan lain.
Di awal musim semi

Masih seperti dulu. Tubuhku merespon bayanganmu. Saat kubuka lemarimu, misteri yang kutemui tak lagi sama. Karena cintaku lebih besar, dari sekedar perasaan yang kaurasakan. Dan aku  bukan pembohong. Hubunganku denganmu sangat indah. Ketika kau menangis lalu memelukku, di saat itu aku merasa diriku punya arti lebih. Rasanya seribu pangeran yang melamarmu pun  akan   kalah.





Padepokan Halimun, 30 Oktober 2011












· · · Bagikan · Hapus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar