Jumat, 30 Maret 2012

Catatan Cinta Yang terbuang menjadi kembang Kertas

Catatan Cinta Yang terbuang menjadi kembang Kertas

oleh Andrie Enrique Ayyas Camarena pada 12 Mei 2011 pukul 22:00 ·
Catatan Cinta Yang terbuang menjadi kembang Kertas
: Catatan Biru

kesepian, kehampaan, cinta yang diambang keraguan
berhadapan satu sama lain dengan diri sendiri
menjadi relasi yang rapuh dan suram
bersama gelasgelas bir dan secangkir kopi
menemaniku bertarung dan bernegosiasi dengan kenangan
dulu, ketika kujatuh cinta padamu,
sudah kukatakan semua
untuk menjadikanmu kekasih, pasanganku seutuhnya
mungkin aku bisa lebih lama tinggal di hatimu
jika kau memberiku waktu lebih
untuk meminangmu, karena kau memilki arti besar
membawaku ke ujung jalan penantian
yang pernah pecah dan kehilangan arah
namun, itulah indahnya cinta

kita berdua tahu,
tanpa dirimu, aku akan mati
karena kau telah memberikan sentuhan romantis di sisiku
untuk sebuah cincin, ingin kupasang di jari manis dan
cintaku kubiarkan bebas, liar, lepas
tuk menemukan pintu hati, mulai dari kekosongan
perlahanlahan akan hadir sendiri dengan berbagai kejutan
mabuk dalam lautan anggur cinta
lalu bermimpi, jauh melalui harihari suram
penuh madu dan sengatan lebah

madu dan sengatan lebah itu
sangat riuh, gaduh
berloncatan, memekik kegirangan
membentuk pusaran kehendak berlarian searus
seperti ombak yang surut lalu pulang kelaut, lagi dan lagi
ketika detak jantung semakin cepat, pusaran itu semakin liar
hingga meledak, berhamburan menjelma dirimu
sekuntum  bunga tercantik, yang hadir dengan dialog rasa
membaca satu sama lain, menjaga alur cerita
yang tak pernah terbayangkan
lalu, muncul sebuah pertanyaan:
siapa yang lebih mendominasi cinta kita?
hanya kita berdua yang tahu, namun siapapun sepakat
bahwa dalam percintaan ini,  kita berdua mesti
samasama memegang kendali, hingga tak ada pihak yang tersubordinasi

cinta yang sederhana, saat kupandang sosokmu dari semua sudut
membuatku selalu tersenyum, mawar kecilku
si anggur merah jambu, untuk merendam hatiku yang panas
pada beberapa titik, di setiap kisah cinta
perbincangan kerap mengalami gangguan dan benturan
kerinduan yang satu disambut, dipagut, atau di cerabut yang lain
masingmasing berpikir dalam logikanya sendiri dan
kadang berjalan beriringan

aku bukan lelaki tolol, yang akan membiarkan kau pergi
cinta yang membara dalam suka duka
saat kau hunus sebilah belati dari celah air mata
jangan memperlakukanku sebagai kekasih
jika kau hanya menipuku dengan tipu muslihat
meyakinkanku, saat berbagi ruang  kamar tidur yang merintih pilu
berasyik masuk, berciuman dan merabaraba, saling bertatapan mesra
pada baitbait puisi, pantun dan dandanggula di wajahmu
kemudian lahir dalam bentuk prosa malam
yang selalu tampil manis, walau di dalam remuk

pagi, seperti biasa
aku memulai hari dengan memandang dirimu yang polos dan teguh
menelanjangimu, untuk memburu orgasme pikiran
yang hadir saat girang, penuh harapan atau putus asa
antara keberadaan dan kehilangan
pertemuan yang tabu dan perpisahan yang sendu

kekasih, saat kubangun esok hari
kuharap ada sebuah keajaiban yang segar
dan tak perlu dipertanyakan terus menerus
karena cinta kita adalah harga mati
meskipun masingmasing menyendiri, di dalam hati kita
masih tersimpan percikan rindu yang senada
seperti menyepakati satu kalimat:
cintaku padamu adalah pengorbanan dan kesetiaan yang "keras kepala"


2.

bagaimana ku bisa menafsirkan cintamu,
jika kau lingkari hatimu dengan kidung senyap
yang menghilang di belakang awan hitam
bagaimana ku bisa memujamu,
jika suarasuara tenor asmaraku
kau tutup keharuman kembang kertas
sayang, di setiap desah nafasku adalah milikmu
meski ketika kumengatakan cintaku dulu
di hatiku tertancap wajah wanita lain
karena cintaku memiliki dua wajah
bunga mawar dan bunga matahari
seperti mengulang kenangan, yang terus berjuang
menjadi satu wajah cintamu

tapi dirimulah yang bisa menyatukan jiwa raga
hingga kau bukan sekedar wanita biasa
sorot mata, tawa, senyum, dan perhatianmu
membuat hidupku punya makna yang lebih dalam
dari apapun di dunia ini
berbicara denganmu,  seperti berdoa
memandang cahaya rembulan yang terbit di bola matamu
yang bercerita tentang kejujuran dan cinta suci
pada saat itu aku merasa sedang menulis
lembaranlembaran jiwa yang masih kosong
yang belum bisa kuraih

lalu, tibatiba kau menghilang
beralih wujud menjadi selembar kertas kosong
yang tak bisa ku tulis
tinggal ku sendiri, menantimu pulang
hingga yang datang sebuah cerita sedih yang mengoyak jiwa
menenangkan diriku, memanggil angin yang berhembus
tapi air hujan mengikat dan menguburnya
mati, menjadi tanah yang ingin mendekapmu erat

tanah yang tertutup pasirpasir,  berlarian
menjadi garis, titik, lengkung, terangkai menjadi lukisan dirimu
yang tertutup batubatu berlumut
tapi hujan sekali lagi mengusap seluruh  pasirmu
dan aku mencoba berdamai dengan hujan, mengubah rintiknya, mengikatnya
untuk menguatkan tulang rusukku yang mulai menyerah

hujan semakin lebat, gemuruh angin mengantar bungabunga rindu
tetes air meleleh di tubuhku, menyendiri di beranda yang kesepian
harum pepohonan seperti bercampur dengan aroma kopi dalam cangkirku
ah, awan mendung menggantung di perbukitan
sore belum begitu tua, tetapi angin membuat cuaca jadi ranum
seranum bibirmu yang sering kucumbu dalam sepi
membayangiku sampai menjadi kepompong kupukupu malam di tempat tidurku


Padepokan Halimun, 12 Mei 2011


· · · Bagikan · Hapus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar