Cerpen:
Hujan
“Ardhie, diluar hujan. Jangan main hujan-hujanan, nanti sakit. Masuklah ke rumah. Cepat!” kata ibunya, “Jauhi hujan!”
“Hujan,” Ardhie mengulang kata itu. Ia menjulurkan tangannya untuk menangkap rintik-rintik air itu lebih banyak lagi.
Ia menatap air hujan yang ditangkup di telapak tangannya. Mula-mula bergoyang-goyang, lalu tenang, terdiam lama-lama merembes di sela-sela jari tangannya. Ia menatap langit, membuka matanya lebar-lebar, mengulurkan kedua lengannya , kalau-kalau ia dapat memeluk hujan dengan tangannya.
****
Ulang tahun Ardhie yang ke lima datang dan pergi sebelum ia menjumpai neneknya lagi, karena mereka sekeluarga pindah ke Sukabumi. Kini Kakek telah pergi untuk selama-lamanya, begitu kata orang tuanya dan Nenek seorang diri, sakit-sakitan.
Maka Nenek pun pindah dari Solo ke Pelabuhan Ratu, Sukabumi dan tinggal di rumah mereka yang ada di dekat pantai. Ia membawa kursi rodanya, tiga koper pakaian, kursi goyangnya, dan Sweater Kakek yang berwarna biru. Pagi itu, dengan keriangan yang sama sejak pertama kali Nenek tinggal bersama mereka, Ardhie membuka pintu kamar Nenek. Dilihatnya Nenek masih tertidur dan mendengkur halus, maka bocah lelaki itu naik pelan-pelan ke kursi goyang tua di sisi tempat tidur dan duduk nyaman di situ.
“Hai Kek, met pagi ya” bisiknya sambil tersenyum pada sebuah foto di atas bupet Neneknya. Foto Ardhie bersama Kakek Neneknya itu dijepret oleh ibunya, di suatu senja saat hujan turun lebat di rumah mereka di Solo.
Di senja hari, ketika hujan turun. Ardhie suka sekali memandangi foto itu. Mengingatkan akan Kakeknya, akan mereka bertiga dan akan hujan. Ia menelusuri bentuk wajah Kakek dengan jarinya, entah untuk ke sekian ribu kalinya. Ia mengenal setiap lembar rambut Kakeknya yang selalu disisir rapi, setiap keriput pada wajahnya. Yang diingat tentang Solo adalah sore itu, rintik air hujan yang berjatuhan membasahi sweater Kakek, pelukan kakek dan Nenek , Air hujan yang di telapak tangan dan pelangi yang sering muncul di kebun belakang rumah.
Ardhie menarik sweater Kakek dari sandaran kursi goyang dan memakainya untuk menyelimuti tubuhnya. Dibenamkannya wajahnya di sweater itu. Betapa lembutnya, bau tubuh Kakek seakan menyatu ke dalam dirinya.
“Mau peluk Nenek, Ardhie?” ujar Neneknya. Suaranya khas suara orang bangun dari tidur, dan Ardhie suka mendengarnya. Ardhie turun dari kursi goyang pelan-pelan, takut jatuh, lalu memeluk Neneknya, menekan pipinya di pipi Nenek yang berkeriput. Tanpa di minta, dilepaskannya sweater itu di ranjang, tapi nenek memintanya untuk memakainya kembali, kemudian dituangkan segelas air putih untuk Neneknya. lalu ia naik lagi ke ranjang dan meringkuk dengan nyaman di pelukan Nenek.
“Nek, mau main?” tanyanya tak lama kemudian.
Kepala Nenek sudah tersandar kembali di atas bantal. Matanya separuh terpejam, dan tangannya memegang dadanya, nafasnya terdengar pelan. Lalu ia melirik cucunya dan tersenyum.
“Kamu ingin bermain?. Sebentar lagi Nenek akan lelah, Tapi Nenek juga ingin bermain denganmu.”
Pada saat itu si bocah tahu, sebelum ada yang mengatakan padanya, bahwa Nenek sedang sekarat. Ia tak tahu pasti apa arti sekarat, hanya ia tahu kata itu ada kaitannya dengan kepergian yang jauh…jauh dan tak kembali lagi.
“Enaknya bermain apa ya?” ujar Nenek. “Eh, Nenek menutup mata sebentar, istirahat, lalu kamu beri Nenek dengan sesuatu yang menyenangkan”
Ardhie tak perlu berpikir lama. Ia tahu apa yang akan membuatnya senang, sekaligus membuat Nenek senang. Ia melihat sekeliling, mencari-cari. Ketika ditemukan apa yang dicarinya, ia turun dari ranjang, berjingkat, dan menarik setumpuk plastik bening untuk membungkus kue dari bupet. Dengan penuh konsentrasi, ia merobek beberapa lembar plastik itu. Bunyi robekan membangunkan Neneknya. “Apa yang kamu lakukan Ardhie?”
“Membuat hujan,” jawab anak itu. Semakin lama semakin cepat, ia mencabik-cabik plastik itu, lalu melempar potongan-potongan plastik itu ke udara.
“Lihat, Nek,” katanya sambil berputar-putar dan mengulurkan tangan.
“Hujan.”
“Cantik.” Nenek sudah terbangun kini, ia duduk di ranjang menyaksikan keping “hujan” terakhir jatuh ke lantai.
Ardhie meneruskan kegiatannya hingga lembaran plastik terakhir habis tercabik-cabik dan bagian tengah lantai kamar dipenuhi tumpukan plastik. Setelah keduanya mengagumi “hujan” tersebut, beberapa saat kemudian Nenek mengusulkan agar Ardhie membereskan semuanya sebelum ibunya pulang. Dengan enggan Ardhie meraup keping-keping hujan itu dan memasukkannya ke keranjang sampah.
****
Setelah beberapa hari kemudian, Nenek jatuh sakit dan Ardhie hanya diperkenankan mengintip ke dalam kamar Nenek untuk mengucapkan salam. Pada hari kelima , Nenek kelihatan normal kembali.
“Aku takut sekali Nenek akan meninggalkan aku,” ujar Ardhie. Ia tidak bermaksud berkata begitu, kata-kata itu keluar sendiri dari mulutnya.
“Meninggalkan kamu? Cucu kesayangan Nenek.” Nenek tertawa renyah sejenak dan menunjuk ke kursi rodanya yang terlipat di pojok kamar. “Kan nenek tidak bisa pergi ke mana-mana, tuh pasti harus pake kursi roda kalau mau keluar rumah. Dan hatiku ada di sini, bersama kamu.” Kata Nenek.
Ia menatap wajah cucunya, lalu suaranya menjadi serius . “ Hei, ada yang ingin kau katakan, Nak?”
Anak lelaki itu terdiam. Ia ingin mengatakan,”Aku tahu Nenek akan meninggal, dan itu membuatku sangat sedih,” tapi ia tidak sanggup mengutarakannya.
“Ingat ketika kamu membuat hujan?” kata nenek. “Ingatkan? bahwa suatu hari nanti, Nenek akan benar-benar lelah, dan akan tertidur lama?”
“Ya, tapi…..”
“ssttt….tunggu, tunggu.” Nenek meletakkan jarinya di bibir Ardhie. Kulitnya jemari sudah berkeriput dan agak kasar,“ Nanti kita bicara lagi ya, sekarang kita bermain hujan yuk” kata Nenek sambil tersenyum.
Ia menunjuk kearah bupet di kamarnya, di atasnya ada setumpuk plastik bening yang baru. Ardhie mengambilnya, lalu berpaling menatap Nenek, yang tersenyum lembut. “Kali ini buat yang sangat kecil ya.”
Saat itu jendela terbuka, angin laut berhembus pelan dan membiarkan hujan Ardhie berterbangan di udara. Ardhie menari mengelilinginya, entah berapa lama. Pintu terbuka, dan ibu Ardhie sudah berdiri di sana.
“Aduh, aduh Ardhie…berantakan sekali..”
Ardhie melirik kearah Nenek, Nenek mengerdipkan mata, tapi tak mengatakan apa-apa.
”Nanti kubersihkan, Mom.” Katanya.
Dan ia menepati janjinya.
****
Keesokan paginya Nenek Ardhie meninggal. Dan menjelang sore, jasad Nenek sudah dibawa pergi untuk dikubur. Bagi Ardhie, Nenek adalah sahabat, penasehat, satu-satunya teman bermain. Ardhie merasa ditinggal sendirian. Dia hanya bisa menangis, melamun dan sedih sekali.
Dia sering masuk ke kamar Nenek, tapi itu tidak membantu menghilangkan kesedihannya, karena ibunya telah menggantinya menjadi kamar kerja ayahnya.
“Untuk menghilangkan kenangan Nenek, Ibu sedih jika ingat Nenek terus,” kata ibunya. Ardhie menyimpan foto kenangan dan sweater Kakek itu di kamarnya, ya, foto Ardhie bertiga dengan Kakek-Nenek pada waktu senja dan hujan lebat. Bila tidur, diletakkanya foto itu di balik bantal, kadang di taruh di dadanya di bungkus sweater Kakek. Tapi itupun tidak cukup. Kakek dan Nenek sudah meninggal, dan itu membuatnya tambah sedih.
******
Hati-hati, Ardhie menumpuk semua bantal yang ada ke atas ranjangnya, di bawah jendela kamar. Ia membuat bulatan bulatan untuk kedua matanya di kaca jendela yang berembun, meletakkan dagunya di kusen jendela, dan menanti.
Rasanya berabad-abad berlalu sebelum ia dapat melihat Kakek Neneknya dikejauhan Keduanya mengenakan payung warna hitam, untuk melindunginya dari rintik hujan.Ia merasa pasti itulah mereka, karena Kakeknya memakai sweater warna biru yang dirajut sendiri oleh Nenek. Mereka mendekat, tangan Kakek memegang tangan Nenek, keduanya saling bergenggaman tangan. Ardhie melompat dari ranjang dan memburu mereka, masih mengenakan piyamanya. Kakek membungkuk, mengangkatnya, dan memeluknya.
“Aduuuh, dikiranya ia masih muda seperti kamu,” ujar Nenek sambil mengacak-acak rambut Ardhie dan memeluk keduanya erat-erat. Ardhie berpaling menatap Nenek. Tiba-tiba seberkas sinar putih membuatnya memejamkan matanya erat-erat. Ketika ia membuka matanya kembali, Kakek dan Neneknya tampak dipenuhi butiran-butiran air hujan yang jatuh dari langit. Ini sesuatu yang ajaib, sesuatu yang belum pernah dilihatnya. Dan mereka berdua menjadi hujan yang membasahi tubuhnya. Ia menatap langit, membuka mulutnya, dan menjulurkan lidahnya, kalau-kalau ia dapat menangkap hujan di mulutnya.
“Kakek! Nenek!” panggilnya. Suaranya sendiri membangunkannya dari tidurnya, dan didapatkannya bantalnya basah oleh air mata. Setiap malam ia bermimpi tentang Kakek dan Neneknya. Dalam mimpi, Kakek dan Neneknya selalu berdiri di butiran-butiran air hujan, mengajaknya bermain-main.
Suatu malam, setelah bermimpi, ia membungkus foto itu dalam sweater Kakek, dan berlari ke pantai di bawah purnama. Diambilnya sweater itu, di tebarkan di atas pasir, seperti handuk pantai. Ketika sedang memasang foto di atas sweater itu, selembar plastik diterbangkan angin laut menuju dirinya. Ia menyambarnya dan plastik itu terselip di antara jari-jarinya. Dicabik-cabiknya plastik itu, dilemparkan ke udara sambil memejamkan mata. Dengan tangan terulur, telapak tangan menghadap ke langit, dapat dirasakan angin laut mengacak-acak rambutnya.
Dibukanya pelan-pelan kedua matanya. Sobekan-sobekan plastik itu menjadi berwarna warni seperti pelangi yang mengarah ke dadanya. Kemudian sobekan-sobekan plastik itu terbang ke langit, menjadi gerimis yang membasahi tubuhnya. Dan hujan semakin lebat, Tubuh Ardhie menjadi basah kuyup, sehingga dia mengambil sweater Kakeknya dan langsung mengenakannya ke tubuhnya..Ada rasa hangat di mengalir ke tubuhnya.Tiba-tiba hujan berhenti mendadak, suasana menjadi sunyi.Lalu dilihatnya Kakek dan Neneknya muncul dari embun yang menetes dari daun-daun kelapa di pinggir pantai,. Mereka tersenyum padanya, lalu perlahan-lahan menghilang, lenyap ditelan kegelapan malam.
“Kakek. Nenek.” Bisiknya pelan. Air matanya mengalir, membasahi pipinya. Dia menangis, sendirian. Di pantai itu.
* Untuk Yasindra Putra Lazuardhie, Ayah sangat menyayangimu, nak.
* Untuk mengenang Almarhum ayahku
Padepokan Halimun, 27 November 2011
Hujan
“Ardhie, diluar hujan. Jangan main hujan-hujanan, nanti sakit. Masuklah ke rumah. Cepat!” kata ibunya, “Jauhi hujan!”
“Hujan,” Ardhie mengulang kata itu. Ia menjulurkan tangannya untuk menangkap rintik-rintik air itu lebih banyak lagi.
Ia menatap air hujan yang ditangkup di telapak tangannya. Mula-mula bergoyang-goyang, lalu tenang, terdiam lama-lama merembes di sela-sela jari tangannya. Ia menatap langit, membuka matanya lebar-lebar, mengulurkan kedua lengannya , kalau-kalau ia dapat memeluk hujan dengan tangannya.
****
Ulang tahun Ardhie yang ke lima datang dan pergi sebelum ia menjumpai neneknya lagi, karena mereka sekeluarga pindah ke Sukabumi. Kini Kakek telah pergi untuk selama-lamanya, begitu kata orang tuanya dan Nenek seorang diri, sakit-sakitan.
Maka Nenek pun pindah dari Solo ke Pelabuhan Ratu, Sukabumi dan tinggal di rumah mereka yang ada di dekat pantai. Ia membawa kursi rodanya, tiga koper pakaian, kursi goyangnya, dan Sweater Kakek yang berwarna biru. Pagi itu, dengan keriangan yang sama sejak pertama kali Nenek tinggal bersama mereka, Ardhie membuka pintu kamar Nenek. Dilihatnya Nenek masih tertidur dan mendengkur halus, maka bocah lelaki itu naik pelan-pelan ke kursi goyang tua di sisi tempat tidur dan duduk nyaman di situ.
“Hai Kek, met pagi ya” bisiknya sambil tersenyum pada sebuah foto di atas bupet Neneknya. Foto Ardhie bersama Kakek Neneknya itu dijepret oleh ibunya, di suatu senja saat hujan turun lebat di rumah mereka di Solo.
Di senja hari, ketika hujan turun. Ardhie suka sekali memandangi foto itu. Mengingatkan akan Kakeknya, akan mereka bertiga dan akan hujan. Ia menelusuri bentuk wajah Kakek dengan jarinya, entah untuk ke sekian ribu kalinya. Ia mengenal setiap lembar rambut Kakeknya yang selalu disisir rapi, setiap keriput pada wajahnya. Yang diingat tentang Solo adalah sore itu, rintik air hujan yang berjatuhan membasahi sweater Kakek, pelukan kakek dan Nenek , Air hujan yang di telapak tangan dan pelangi yang sering muncul di kebun belakang rumah.
Ardhie menarik sweater Kakek dari sandaran kursi goyang dan memakainya untuk menyelimuti tubuhnya. Dibenamkannya wajahnya di sweater itu. Betapa lembutnya, bau tubuh Kakek seakan menyatu ke dalam dirinya.
“Mau peluk Nenek, Ardhie?” ujar Neneknya. Suaranya khas suara orang bangun dari tidur, dan Ardhie suka mendengarnya. Ardhie turun dari kursi goyang pelan-pelan, takut jatuh, lalu memeluk Neneknya, menekan pipinya di pipi Nenek yang berkeriput. Tanpa di minta, dilepaskannya sweater itu di ranjang, tapi nenek memintanya untuk memakainya kembali, kemudian dituangkan segelas air putih untuk Neneknya. lalu ia naik lagi ke ranjang dan meringkuk dengan nyaman di pelukan Nenek.
“Nek, mau main?” tanyanya tak lama kemudian.
Kepala Nenek sudah tersandar kembali di atas bantal. Matanya separuh terpejam, dan tangannya memegang dadanya, nafasnya terdengar pelan. Lalu ia melirik cucunya dan tersenyum.
“Kamu ingin bermain?. Sebentar lagi Nenek akan lelah, Tapi Nenek juga ingin bermain denganmu.”
Pada saat itu si bocah tahu, sebelum ada yang mengatakan padanya, bahwa Nenek sedang sekarat. Ia tak tahu pasti apa arti sekarat, hanya ia tahu kata itu ada kaitannya dengan kepergian yang jauh…jauh dan tak kembali lagi.
“Enaknya bermain apa ya?” ujar Nenek. “Eh, Nenek menutup mata sebentar, istirahat, lalu kamu beri Nenek dengan sesuatu yang menyenangkan”
Ardhie tak perlu berpikir lama. Ia tahu apa yang akan membuatnya senang, sekaligus membuat Nenek senang. Ia melihat sekeliling, mencari-cari. Ketika ditemukan apa yang dicarinya, ia turun dari ranjang, berjingkat, dan menarik setumpuk plastik bening untuk membungkus kue dari bupet. Dengan penuh konsentrasi, ia merobek beberapa lembar plastik itu. Bunyi robekan membangunkan Neneknya. “Apa yang kamu lakukan Ardhie?”
“Membuat hujan,” jawab anak itu. Semakin lama semakin cepat, ia mencabik-cabik plastik itu, lalu melempar potongan-potongan plastik itu ke udara.
“Lihat, Nek,” katanya sambil berputar-putar dan mengulurkan tangan.
“Hujan.”
“Cantik.” Nenek sudah terbangun kini, ia duduk di ranjang menyaksikan keping “hujan” terakhir jatuh ke lantai.
Ardhie meneruskan kegiatannya hingga lembaran plastik terakhir habis tercabik-cabik dan bagian tengah lantai kamar dipenuhi tumpukan plastik. Setelah keduanya mengagumi “hujan” tersebut, beberapa saat kemudian Nenek mengusulkan agar Ardhie membereskan semuanya sebelum ibunya pulang. Dengan enggan Ardhie meraup keping-keping hujan itu dan memasukkannya ke keranjang sampah.
****
Setelah beberapa hari kemudian, Nenek jatuh sakit dan Ardhie hanya diperkenankan mengintip ke dalam kamar Nenek untuk mengucapkan salam. Pada hari kelima , Nenek kelihatan normal kembali.
“Aku takut sekali Nenek akan meninggalkan aku,” ujar Ardhie. Ia tidak bermaksud berkata begitu, kata-kata itu keluar sendiri dari mulutnya.
“Meninggalkan kamu? Cucu kesayangan Nenek.” Nenek tertawa renyah sejenak dan menunjuk ke kursi rodanya yang terlipat di pojok kamar. “Kan nenek tidak bisa pergi ke mana-mana, tuh pasti harus pake kursi roda kalau mau keluar rumah. Dan hatiku ada di sini, bersama kamu.” Kata Nenek.
Ia menatap wajah cucunya, lalu suaranya menjadi serius . “ Hei, ada yang ingin kau katakan, Nak?”
Anak lelaki itu terdiam. Ia ingin mengatakan,”Aku tahu Nenek akan meninggal, dan itu membuatku sangat sedih,” tapi ia tidak sanggup mengutarakannya.
“Ingat ketika kamu membuat hujan?” kata nenek. “Ingatkan? bahwa suatu hari nanti, Nenek akan benar-benar lelah, dan akan tertidur lama?”
“Ya, tapi…..”
“ssttt….tunggu, tunggu.” Nenek meletakkan jarinya di bibir Ardhie. Kulitnya jemari sudah berkeriput dan agak kasar,“ Nanti kita bicara lagi ya, sekarang kita bermain hujan yuk” kata Nenek sambil tersenyum.
Ia menunjuk kearah bupet di kamarnya, di atasnya ada setumpuk plastik bening yang baru. Ardhie mengambilnya, lalu berpaling menatap Nenek, yang tersenyum lembut. “Kali ini buat yang sangat kecil ya.”
Saat itu jendela terbuka, angin laut berhembus pelan dan membiarkan hujan Ardhie berterbangan di udara. Ardhie menari mengelilinginya, entah berapa lama. Pintu terbuka, dan ibu Ardhie sudah berdiri di sana.
“Aduh, aduh Ardhie…berantakan sekali..”
Ardhie melirik kearah Nenek, Nenek mengerdipkan mata, tapi tak mengatakan apa-apa.
”Nanti kubersihkan, Mom.” Katanya.
Dan ia menepati janjinya.
****
Keesokan paginya Nenek Ardhie meninggal. Dan menjelang sore, jasad Nenek sudah dibawa pergi untuk dikubur. Bagi Ardhie, Nenek adalah sahabat, penasehat, satu-satunya teman bermain. Ardhie merasa ditinggal sendirian. Dia hanya bisa menangis, melamun dan sedih sekali.
Dia sering masuk ke kamar Nenek, tapi itu tidak membantu menghilangkan kesedihannya, karena ibunya telah menggantinya menjadi kamar kerja ayahnya.
“Untuk menghilangkan kenangan Nenek, Ibu sedih jika ingat Nenek terus,” kata ibunya. Ardhie menyimpan foto kenangan dan sweater Kakek itu di kamarnya, ya, foto Ardhie bertiga dengan Kakek-Nenek pada waktu senja dan hujan lebat. Bila tidur, diletakkanya foto itu di balik bantal, kadang di taruh di dadanya di bungkus sweater Kakek. Tapi itupun tidak cukup. Kakek dan Nenek sudah meninggal, dan itu membuatnya tambah sedih.
******
Hati-hati, Ardhie menumpuk semua bantal yang ada ke atas ranjangnya, di bawah jendela kamar. Ia membuat bulatan bulatan untuk kedua matanya di kaca jendela yang berembun, meletakkan dagunya di kusen jendela, dan menanti.
Rasanya berabad-abad berlalu sebelum ia dapat melihat Kakek Neneknya dikejauhan Keduanya mengenakan payung warna hitam, untuk melindunginya dari rintik hujan.Ia merasa pasti itulah mereka, karena Kakeknya memakai sweater warna biru yang dirajut sendiri oleh Nenek. Mereka mendekat, tangan Kakek memegang tangan Nenek, keduanya saling bergenggaman tangan. Ardhie melompat dari ranjang dan memburu mereka, masih mengenakan piyamanya. Kakek membungkuk, mengangkatnya, dan memeluknya.
“Aduuuh, dikiranya ia masih muda seperti kamu,” ujar Nenek sambil mengacak-acak rambut Ardhie dan memeluk keduanya erat-erat. Ardhie berpaling menatap Nenek. Tiba-tiba seberkas sinar putih membuatnya memejamkan matanya erat-erat. Ketika ia membuka matanya kembali, Kakek dan Neneknya tampak dipenuhi butiran-butiran air hujan yang jatuh dari langit. Ini sesuatu yang ajaib, sesuatu yang belum pernah dilihatnya. Dan mereka berdua menjadi hujan yang membasahi tubuhnya. Ia menatap langit, membuka mulutnya, dan menjulurkan lidahnya, kalau-kalau ia dapat menangkap hujan di mulutnya.
“Kakek! Nenek!” panggilnya. Suaranya sendiri membangunkannya dari tidurnya, dan didapatkannya bantalnya basah oleh air mata. Setiap malam ia bermimpi tentang Kakek dan Neneknya. Dalam mimpi, Kakek dan Neneknya selalu berdiri di butiran-butiran air hujan, mengajaknya bermain-main.
Suatu malam, setelah bermimpi, ia membungkus foto itu dalam sweater Kakek, dan berlari ke pantai di bawah purnama. Diambilnya sweater itu, di tebarkan di atas pasir, seperti handuk pantai. Ketika sedang memasang foto di atas sweater itu, selembar plastik diterbangkan angin laut menuju dirinya. Ia menyambarnya dan plastik itu terselip di antara jari-jarinya. Dicabik-cabiknya plastik itu, dilemparkan ke udara sambil memejamkan mata. Dengan tangan terulur, telapak tangan menghadap ke langit, dapat dirasakan angin laut mengacak-acak rambutnya.
Dibukanya pelan-pelan kedua matanya. Sobekan-sobekan plastik itu menjadi berwarna warni seperti pelangi yang mengarah ke dadanya. Kemudian sobekan-sobekan plastik itu terbang ke langit, menjadi gerimis yang membasahi tubuhnya. Dan hujan semakin lebat, Tubuh Ardhie menjadi basah kuyup, sehingga dia mengambil sweater Kakeknya dan langsung mengenakannya ke tubuhnya..Ada rasa hangat di mengalir ke tubuhnya.Tiba-tiba hujan berhenti mendadak, suasana menjadi sunyi.Lalu dilihatnya Kakek dan Neneknya muncul dari embun yang menetes dari daun-daun kelapa di pinggir pantai,. Mereka tersenyum padanya, lalu perlahan-lahan menghilang, lenyap ditelan kegelapan malam.
“Kakek. Nenek.” Bisiknya pelan. Air matanya mengalir, membasahi pipinya. Dia menangis, sendirian. Di pantai itu.
* Untuk Yasindra Putra Lazuardhie, Ayah sangat menyayangimu, nak.
* Untuk mengenang Almarhum ayahku
Padepokan Halimun, 27 November 2011
- Andrie Enrique Ayyas Camarena begitukah mbak Leliana?
terima kasih sekali :-) - Ditha Lastcocaine Arts luar biasa bang, sepertinya kental dgn pengalaman pribadi nih... begitu intim
- Andrie Enrique Ayyas Camarena begitu ya mas Ditha Lastcocaine Arts?
kau pandai sekali menebak,hehehehe
met malam ya :-) - Andrie Enrique Ayyas Camarena sama sama mas Ditha Lastcocaine Arts,
sukses buatmu juga ya :-) - Delbin Clyte Duh. Begitu sunyi. Getirnya gigil hujan itu terasa sekali. Cerpen yang hening. Selamat malam ya, mas.
- Andrie Enrique Ayyas Camarena sama -sama mas Delbin Clyte,
malam yang menggigil untuk sebuah hujan rindu :-) - Si Mene Wes TobatMas Andrie Enrique Ayyas Camarena, tahukah kamu jika detik ini, bulir-bulir air hujan menetes deras di mataku, tentang cerita Nenek yang begitu menyayangi Ardhi, aku seakan di ajak ke Duniaku, dunia yang tak semestinya ku tinggalkan, dimana...Lihat Selengkapnya
- Dee Wijayanti Yuhuu brad . . . Thx cerpenya . . Hehe . . Met pagi aj . .
- Dalasari Pera Kisah yang teramat mengharukan, seakan turut menikmati hujan dan kesedihan di dalamnya.
- KembaRa Gelungan Hitam di luar,,, butiran hujan miliki tempat menyimpan kenangan
- Tuditea Masditok ceritamu mencuri perhatianku haha saputangan mana ya saputangan ? hwaaaa .... :D
- Arther Panther Oliimas andrie, aku mencoba membayangkan daya penceritaannya jika si tokoh utama menjadi subyek yang menceritakan. pasti akan lebih terasa tersambung jalinan rasa dengan pembaca. hujan adalah sa...Lihat Selengkapnya
- Erny Susanty aku selalu suka hujan dan setiap kali kemunculannya selalu membawa berjuta kenangan dan cerita..mengharukan ceritanya ya bradha..aku serasa menjadi Ardhie..salam hangatku selalu :)
- Donald Sitompul lembut, tak menyangka mas Andrie mengkemasnya begitu rupa, haru...
#aku bertanya, apakah hujan selalu identik dengan kesedihan? - Deena Buditomo rinai hujan yg membuka tabir memori.. sayang aku gak punya banyak kenangan dengan alm.bapak.. apalagi dengan kakek dan nenek.. :)
- Ummi Hasfa hujan dan purnama. purnama dan hujan. thanks for tagg, Andrie.
- Andrie Enrique Ayyas Camarena met pagi mas Si Mene Ketehe :-)
aduuhh, senangnya bisa membuat mas mene menangis
hihihihi
met beraktivitas ya :-) - Andrie Enrique Ayyas Camarena pagi Dee,
met beraktivitas ya, jaga kesehatan :-) - Andrie Enrique Ayyas Camarena terima kasih sis Dalasari Pera,
semoga hujan tidak sedih terus ya, amien :-) - Andrie Enrique Ayyas Camarena kenangan sedih dan menyenangkan ya mbak KembaRa,
met pagi mbak :-) - Andrie Enrique Ayyas Camarena hehehehehe, semoga hari ini kau selalu ceria sis Tuditea,
met pagi ya :-) - Andrie Enrique Ayyas Camarena terima kasih sarannya Mas Arther Panther Olii,
mas pringabdi barusan aku add
biar tambah ilmuku :-)
met pagi mas :-) - Andrie Enrique Ayyas Camarena met pagi sis Erny Susanty,
terima kasih ya,semoga hujan riang kembali :-) - Andrie Enrique Ayyas Camarena terima kasih mbak Okta Rina :-)
selamat datang di berandaku :-) - Andrie Enrique Ayyas Camarena met pagi mbak Nona G Muchtar,
terima kasih udah membacanya :-)
met beraktivitas ya :-) - Andrie Enrique Ayyas Camarena hehehehehe, mas Donald Sitompul,
hujan sebenarnya selalu riang mas
makasih ya udah membacanya,hehehehehe
nanti aku buat hujan yang gembira selalu :-) - Andrie Enrique Ayyas Camarena hehehehehe, tiap orang punya kenangan yang berbeda beda y mbak Deena Buditomo,
aku yakin kamu juga punya kenangan tersendiri dengan orang yang dekat denganmu
salam buat keluargaya :-) - Andrie Enrique Ayyas Camarena hehehehehe, kau benar mbak Ratna Dewi Barrie,
senang kau bisa hadir di sini
met pagi ya :-) - Andrie Enrique Ayyas Camarena terima kasih kembali mbak Ummi Hasfa,
aku banyak belajar dari tulisan tulisanmu
met pagi ya :-) - Andrie Enrique Ayyas Camarena hehehehehe,
met pagi mbak Anggie D. Widowati :-) - Andrie Enrique Ayyas Camarena hehehehe, terima kasih mas Cepi Sabre,
met pagi dan beraktivitas ya :-) - Andrie Enrique Ayyas Camarena jempolers:makasih ya
salam hangat dariku selalu :-) - Andrie Enrique Ayyas Camarena hehehehe, terima kasih mommie Sue Munggaran udah hadir
semoga hujan tahun ini banyak membawa berkah dan kenangan yang indah,amien
met pagi mo :-) - Andrie Enrique Ayyas Camarena terima kasih mas Husni Hamisi,
aku banyak belajar darimu,
met beraktivitas ya mas :-) - Ezzyla Fi cerpenmu sangat bagus bro:)
maaf terlambat brother:)
salam hangat..*,~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar