Rabu, 14 Maret 2012

Cerpen : Hujan

Cerpen:

Hujan


“Ardhie, diluar hujan. Jangan main hujan-hujanan, nanti sakit. Masuklah ke rumah. Cepat!” kata ibunya, “Jauhi hujan!”
“Hujan,” Ardhie mengulang kata itu. Ia menjulurkan tangannya untuk menangkap rintik-rintik air itu lebih banyak lagi.

Ia menatap air hujan yang ditangkup di telapak tangannya. Mula-mula bergoyang-goyang, lalu tenang, terdiam lama-lama merembes di sela-sela jari tangannya. Ia menatap langit, membuka matanya lebar-lebar, mengulurkan kedua lengannya , kalau-kalau ia dapat memeluk hujan dengan tangannya.
****

Ulang tahun Ardhie yang ke lima datang dan pergi sebelum ia  menjumpai neneknya  lagi, karena mereka sekeluarga pindah ke Sukabumi. Kini Kakek telah pergi untuk selama-lamanya, begitu kata orang tuanya dan Nenek  seorang diri, sakit-sakitan.

Maka Nenek pun pindah dari Solo ke Pelabuhan Ratu, Sukabumi dan tinggal di rumah mereka yang ada di dekat pantai. Ia membawa kursi rodanya, tiga koper pakaian, kursi goyangnya, dan Sweater Kakek yang berwarna biru. Pagi itu, dengan keriangan yang sama sejak pertama kali Nenek tinggal bersama mereka, Ardhie membuka pintu kamar Nenek. Dilihatnya Nenek masih tertidur dan mendengkur halus, maka bocah lelaki itu naik pelan-pelan ke kursi goyang tua di sisi tempat tidur dan duduk nyaman di situ.
“Hai Kek, met pagi ya” bisiknya sambil tersenyum pada sebuah foto di atas bupet Neneknya. Foto Ardhie  bersama Kakek Neneknya itu dijepret oleh ibunya, di suatu senja saat hujan turun lebat di rumah mereka di Solo.

Di senja hari, ketika hujan turun. Ardhie suka sekali memandangi foto itu. Mengingatkan akan Kakeknya, akan mereka bertiga dan akan hujan. Ia menelusuri bentuk wajah Kakek dengan jarinya, entah untuk ke sekian ribu kalinya. Ia mengenal setiap lembar rambut Kakeknya yang selalu disisir rapi, setiap keriput pada wajahnya. Yang diingat tentang Solo adalah sore itu, rintik air hujan yang berjatuhan membasahi sweater Kakek, pelukan kakek dan Nenek , Air hujan yang  di telapak tangan dan pelangi yang sering muncul di kebun belakang rumah.

Ardhie menarik sweater Kakek dari sandaran kursi goyang dan memakainya untuk menyelimuti tubuhnya. Dibenamkannya wajahnya di sweater itu. Betapa lembutnya, bau tubuh Kakek seakan menyatu ke dalam dirinya.
“Mau peluk Nenek, Ardhie?” ujar Neneknya. Suaranya khas suara orang bangun dari tidur, dan Ardhie suka mendengarnya. Ardhie turun dari kursi goyang pelan-pelan, takut jatuh, lalu memeluk Neneknya, menekan pipinya di pipi Nenek yang berkeriput. Tanpa di minta, dilepaskannya sweater itu di ranjang, tapi nenek memintanya untuk memakainya kembali, kemudian dituangkan segelas air putih untuk Neneknya. lalu ia naik lagi ke ranjang dan meringkuk dengan nyaman di pelukan Nenek.
“Nek, mau main?” tanyanya tak lama kemudian.
Kepala Nenek sudah tersandar kembali di atas bantal. Matanya separuh terpejam, dan tangannya memegang dadanya, nafasnya terdengar pelan. Lalu ia melirik cucunya dan tersenyum.
“Kamu ingin bermain?. Sebentar lagi Nenek akan lelah, Tapi Nenek juga ingin bermain denganmu.”
Pada saat itu  si bocah tahu, sebelum ada yang mengatakan padanya, bahwa Nenek sedang sekarat. Ia tak tahu pasti apa arti sekarat, hanya ia tahu kata itu ada kaitannya dengan kepergian yang jauh…jauh dan tak kembali lagi.
“Enaknya bermain apa ya?” ujar Nenek. “Eh, Nenek menutup mata sebentar, istirahat, lalu kamu beri  Nenek dengan sesuatu yang menyenangkan”
Ardhie tak perlu berpikir lama. Ia tahu apa yang akan membuatnya senang, sekaligus membuat Nenek senang. Ia melihat sekeliling, mencari-cari. Ketika ditemukan apa yang dicarinya, ia turun dari ranjang, berjingkat, dan menarik setumpuk plastik bening untuk membungkus kue dari bupet. Dengan penuh konsentrasi, ia merobek beberapa lembar plastik itu. Bunyi robekan membangunkan Neneknya. “Apa yang kamu lakukan Ardhie?”
“Membuat hujan,” jawab anak itu. Semakin lama semakin cepat, ia mencabik-cabik plastik itu, lalu melempar potongan-potongan plastik itu ke udara.
“Lihat, Nek,” katanya sambil berputar-putar dan mengulurkan tangan.
“Hujan.”
“Cantik.” Nenek sudah terbangun kini, ia duduk di ranjang menyaksikan keping “hujan” terakhir jatuh ke lantai.

Ardhie meneruskan kegiatannya hingga lembaran plastik  terakhir habis tercabik-cabik dan bagian tengah lantai kamar dipenuhi tumpukan plastik. Setelah keduanya mengagumi “hujan” tersebut, beberapa saat kemudian Nenek mengusulkan agar Ardhie membereskan semuanya sebelum ibunya pulang. Dengan enggan Ardhie meraup keping-keping hujan itu dan memasukkannya ke keranjang sampah.
****

Setelah  beberapa hari kemudian, Nenek jatuh sakit dan Ardhie hanya diperkenankan mengintip ke dalam kamar Nenek untuk mengucapkan salam. Pada hari kelima , Nenek kelihatan normal kembali.
“Aku takut sekali Nenek akan meninggalkan aku,” ujar Ardhie. Ia tidak bermaksud berkata begitu, kata-kata itu keluar sendiri dari mulutnya.
“Meninggalkan kamu? Cucu kesayangan Nenek.” Nenek tertawa renyah sejenak dan menunjuk ke kursi rodanya yang terlipat di pojok kamar. “Kan nenek tidak bisa pergi ke mana-mana, tuh pasti harus pake kursi roda kalau mau keluar rumah. Dan hatiku ada di sini, bersama kamu.” Kata Nenek.
Ia menatap wajah cucunya, lalu suaranya menjadi serius . “ Hei, ada yang ingin kau katakan, Nak?”
Anak lelaki itu terdiam. Ia ingin mengatakan,”Aku tahu Nenek akan meninggal, dan itu membuatku sangat sedih,” tapi ia tidak sanggup mengutarakannya.
“Ingat ketika kamu membuat hujan?” kata nenek. “Ingatkan? bahwa suatu hari nanti,  Nenek akan benar-benar lelah, dan akan tertidur lama?”
“Ya, tapi…..”
“ssttt….tunggu, tunggu.” Nenek meletakkan jarinya di bibir Ardhie. Kulitnya jemari sudah berkeriput dan agak kasar,“ Nanti kita bicara lagi ya, sekarang kita bermain hujan yuk” kata Nenek sambil tersenyum.

Ia menunjuk kearah bupet di kamarnya, di atasnya ada setumpuk plastik bening yang baru. Ardhie mengambilnya, lalu berpaling menatap Nenek, yang tersenyum lembut. “Kali ini buat yang sangat  kecil ya.”
Saat itu jendela terbuka, angin laut berhembus pelan dan membiarkan hujan Ardhie berterbangan di udara. Ardhie menari mengelilinginya, entah berapa lama. Pintu terbuka, dan ibu Ardhie sudah berdiri di sana.
“Aduh, aduh Ardhie…berantakan sekali..”
Ardhie melirik kearah Nenek, Nenek mengerdipkan mata, tapi tak mengatakan apa-apa.
”Nanti kubersihkan, Mom.” Katanya.
Dan ia menepati janjinya.
****

Keesokan paginya Nenek Ardhie meninggal. Dan menjelang sore, jasad Nenek sudah dibawa pergi untuk dikubur. Bagi Ardhie, Nenek adalah sahabat, penasehat, satu-satunya teman bermain. Ardhie merasa ditinggal sendirian. Dia hanya bisa menangis, melamun dan sedih sekali.

Dia sering masuk ke kamar Nenek, tapi itu tidak membantu menghilangkan kesedihannya, karena ibunya telah menggantinya menjadi kamar kerja ayahnya.
“Untuk menghilangkan kenangan Nenek, Ibu sedih jika ingat Nenek terus,” kata ibunya. Ardhie menyimpan foto kenangan dan sweater Kakek itu di kamarnya, ya, foto Ardhie bertiga dengan Kakek-Nenek pada waktu senja dan hujan lebat. Bila tidur, diletakkanya foto itu di balik bantal, kadang di taruh di dadanya di bungkus sweater Kakek. Tapi itupun tidak cukup. Kakek dan Nenek sudah meninggal, dan itu membuatnya tambah sedih.
******

Hati-hati, Ardhie menumpuk semua bantal yang ada ke atas ranjangnya, di bawah jendela kamar. Ia membuat bulatan bulatan untuk kedua matanya di kaca jendela yang berembun, meletakkan dagunya di kusen jendela, dan menanti.

Rasanya berabad-abad berlalu sebelum ia dapat melihat Kakek Neneknya dikejauhan Keduanya mengenakan payung warna hitam, untuk melindunginya dari rintik hujan.Ia merasa pasti itulah mereka, karena Kakeknya memakai sweater warna biru yang dirajut  sendiri oleh Nenek. Mereka mendekat, tangan Kakek memegang tangan Nenek, keduanya saling bergenggaman tangan. Ardhie melompat dari ranjang dan memburu mereka, masih mengenakan piyamanya. Kakek membungkuk, mengangkatnya, dan memeluknya.

“Aduuuh, dikiranya ia masih muda seperti kamu,” ujar Nenek sambil mengacak-acak rambut Ardhie dan memeluk keduanya erat-erat. Ardhie berpaling menatap Nenek. Tiba-tiba  seberkas sinar putih membuatnya memejamkan matanya erat-erat. Ketika ia membuka matanya kembali, Kakek dan  Neneknya tampak dipenuhi butiran-butiran air hujan yang jatuh  dari langit. Ini sesuatu yang ajaib, sesuatu yang belum pernah dilihatnya. Dan mereka berdua menjadi hujan yang membasahi tubuhnya. Ia menatap langit, membuka mulutnya, dan menjulurkan lidahnya, kalau-kalau ia dapat menangkap hujan di mulutnya.

“Kakek! Nenek!” panggilnya. Suaranya sendiri membangunkannya dari tidurnya, dan didapatkannya bantalnya basah oleh air mata. Setiap malam ia bermimpi tentang Kakek dan Neneknya. Dalam mimpi, Kakek dan Neneknya selalu berdiri di butiran-butiran air hujan, mengajaknya bermain-main.

Suatu malam, setelah bermimpi, ia membungkus foto itu dalam sweater Kakek, dan berlari ke pantai di bawah purnama. Diambilnya sweater itu, di tebarkan di atas pasir, seperti handuk pantai. Ketika sedang memasang foto di atas sweater itu,  selembar plastik diterbangkan angin laut menuju dirinya. Ia menyambarnya dan plastik itu terselip di antara jari-jarinya. Dicabik-cabiknya plastik itu, dilemparkan ke udara sambil memejamkan mata. Dengan tangan terulur, telapak tangan menghadap ke langit, dapat dirasakan angin laut mengacak-acak rambutnya.

Dibukanya pelan-pelan kedua matanya. Sobekan-sobekan plastik itu menjadi berwarna warni seperti pelangi yang mengarah ke dadanya. Kemudian sobekan-sobekan plastik itu terbang ke langit, menjadi gerimis yang membasahi tubuhnya. Dan hujan semakin lebat, Tubuh Ardhie menjadi basah kuyup, sehingga dia mengambil sweater Kakeknya dan langsung mengenakannya ke tubuhnya..Ada rasa hangat di mengalir ke tubuhnya.Tiba-tiba hujan berhenti mendadak, suasana menjadi sunyi.Lalu dilihatnya Kakek dan Neneknya muncul dari embun yang menetes dari daun-daun kelapa di pinggir pantai,. Mereka tersenyum padanya, lalu perlahan-lahan menghilang, lenyap ditelan kegelapan malam.

“Kakek. Nenek.” Bisiknya pelan. Air matanya mengalir, membasahi pipinya. Dia menangis, sendirian. Di pantai itu.


* Untuk Yasindra Putra Lazuardhie, Ayah sangat menyayangimu, nak.
* Untuk mengenang Almarhum ayahku

Padepokan Halimun, 27 November 2011



· · · Bagikan · Hapus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar