Jumat, 30 Maret 2012

Puisi Ibu ( bagian 7 )

Puisi Ibu ( bagian 7 )

oleh Andrie Enrique Ayyas Camarena pada 21 Juli 2011 pukul 20:18 ·
Puisi Ibu ( bagian 7 )


Wanita Wanita Tangguh Dalam Puisiku

Tubuh Ay Lan yang pingsan diseret ke dua sipir penjara itu ke sebuah klinik kesehatan di penjara.
“Dok, ada pasien baru. Kau periksa wanita ini!”kata sipir penjara sambil meletakkan begitu saja tubuh Ay Lan di pintu masuk klinik kesehatan.
“Iya,”kata dokter itu. Bersama dua orang perawat, dia  mengangkat tubuh Ay Lan, lalu membaringkan pelan pelan ke tempat tidur di ruang periksa. Kemudian membersihkan wajah Ay Lan yang berdarah pelan pelan. Ay Lan mulai siuman.

“Tenang Ibu, kamu sekarang ada di ruang perawatan, tadi kamu pingsan waktu di bawa ke sini,”kata Dokter Bun Han, dokter di klinik kesehatan penjara.
Ay Lan mulai ingat satu per satu, mulai dari penyakit jantungnya yang kumat sampai dia pingsan dipukul kepalanya oleh sipir penjara. Dia melihat kedua sipir penjara itu masih berdiri di luar kamar periksa mengawasinya.

Dokter Bun Han memeriksa Ay Lan dengan sikap yang santun. Dia sama sekali tidak berani menatap wajah dua orang sipir penjara itu. Sorot matanya yang sayu menunjukkan kekhawatirannya, karena tekanan darah dalam tubuh Ay Lan.
“Ibu, nasibmu bukan di tanganku. Aku tidak bisa membebaskanmu. Aku hanya bisa memberi obat agar jantungmu baik kembali,” katanya perlahan saat melihat kedua sipir penjara berdiri agak menjauh.

Ay Lan melihat kesempatan untuk bebas. Ia menuliskan nomor telepon rumah ayahnya di atas ranjang pemeriksaan yang penuh  debu tebal.
“Dokter, tolong hubungi nomor ini, katakana  padanya di mana aku berada saat ini.”
Dokter  Bun Han  yang sempat diliputi keraguan, akhirnya berkomat kamit menghafalkan nomor itu, lalu menghapusnya dari permukaan ranjang dengan tangannya.

Ay Lan menarik nafas lega, meskipun ia sedikit diliputi rasa bersalah. Ia telah membawa dokter itu ke situasi yang sulit, yang dapat berubah menjadi keadaan yang berbahaya.
“Sekarang kembalilah ke sel. Beristirahatlah, semoga semua lekas menjadi baik kembali,” kata dokter yang baik itu menenangkan Ay Lan.

Ay Lan disambut hangat teman teman satu sel. Wang Jang segera menata ranjang sederhana, sebuah selimut dilipat untuk dijadikan bantal, sedangkan selembar lainnya digunakan untuk menyelimuti tubuh Ay Lan. Beberapa  perempuan lain memijat kaki dan tangannya. Seorang perempuan lain mengangsurkan makam malam yang sengaja disisihkan untuk Ay Lan.

Makam pertama itu mereka saling berkenalan. Ada Kiem Sian, perempuan lugu dari daerah selatan. Ada juga seorang perempuan dari kalangan suku Han yang enggan menyebutkan namanya. Saat itulah mereka saling bercerita tentang penyebab yang membawa mereka ke penjara.

Wang Jang salah satunya. Ia lahir dari kelompok Teratai Putih, kelompok yang dalam keseharian sering mendapat masalah dalam berbagai urusan resmi dari pemerintah. Wang Jang dikarunia wajah yang cantik. Saking cantiknya ia diminta untuk mewarisi nama keluarga kakek dari ibunya, bukan nama dari ayahnya sebagaimana biasa. Kecantikan memang suatu kebanggan bagi wanita Cina.

Menjelang usia remaja ia menikah dengan lelaki pilihannya. Namun, suaminya tewas saat bertugas dalam perang melawan penjajah Jepang. Nasib baik masih memihaknya. Wang Jang menikah lagi dengan lelaki yangsangat baik hati dan mau menerima dirinya dan dua orang anaknya dari suami pertamanya. Di Cina jarang sekali sekali ada lelaki yang mau menerima anak anak dari janda yang dikawininya.

Kecuali satu hal yang membuat suaminya kurang nyaman, yakni nama Wang Jang yang diembel embeli nama keluarga ibunya. Untuk menyenangkan hati suaminya, Wang Jang mengubah nama keluarga ayahnya. Ia tidak menduga perubahan itulah yang bakal menimbulkan masalah.


Bunga Mawar Ibu Puisiku

Sudah 3 kali dalam satu minggu ini Dr Jose ke rumah Soraya, dengan alasan memeriksa Cahaya. Dr Jose dan Cahaya sudah menjadi sahabat kental, dan hobi mereka sama. Ngobrol. Sore itu Soraya asyik bercanda dengan Cahaya dan Dr jose hanya mengawasi tingkah mereka berdua, sebenarnya dia sebel juga dicuekin kayak begitu.
“Gambal mah..”katanya. “Aya mau gambal bunga, pensilnya mana..?”
“Ini..ini, habis ditaruh di lantai sih, jadi jalan jalan deh pensilnya,”timpal Soraya.
“Bahagia sekali mereka berdua,” kata Dr Jose dalam hati.

Dan yang  paling bahagia tentu saja Cahaya, seperti bulan kemarin, di sekolahnya ada skuter mainan milik sekolah. Tapi dia tidak bisa berebut untuk memainkannya di sekolah. Begitu Cahaya mengatakan kepada Soraya, dia membawa Cahaya satu jam lebih awal ke sekolah, agar bisa menaikinya. Soraya mengajarinya cara mengendarainya dan akhirnya Cahaya bisa melakukannya. Dia senang sekali.

Di rumah, Cahaya senang bermain dengan sayur dan buah. Bermacam sayur akan ditaruh Soraya di lantai dan Cahaya belajar mengingat semua sayur dan buah yang  dia pegang.
“Mau dijilat, digigit,  dipegang, dikupas, terserah kamu,” kata Soraya.
Dengan cara itu Cahaya bisa mengenali sayur dan buah.

Soraya juga suka menaruh bunga di kamar mandi. Dia sengaja meletakkannya di tempat yang bisa diraih  Cahaya. Mulanya cahaya hanya menarik kelopak bunga tau mencabuti daunnya. Tapi lama kelamaan dia terlena dengan baunya, dan mulai meraba raba bunga itu.
“Inikah bunga itu?’ pikirnya.
Cahaya langsung menyukainya. Sekarang dia mengerti bunga itu  indah. Soraya juga mengenalkan bau wangi suatu bunga, sehingga Cahaya juga bisa mengenali bunga dari baunya. Soraya pun menjelaskan soal warna bunga. Soraya bahkan bercerita tentang bagaimana suatu tumbuhan tumbuh dari benih hingga  menjadi tanaman dewasa atau pohon.

Setelah Cahaya tahu banyak soal tanaman, dia juga diperkenalkan dengan binatang. Cahaya bahkan tidak takut menyentuh serangga, kodok, dan cacing.

Dan sekarang ini, asyik sekali Cahaya menggambar, sementara senyum selalu mengmbang di bibir Soraya melihat tingkah laku anaknya. Kata kata yang masih cedal keluar dari mulut cahaya, kadang kadang membuat Soraya tertawa terpingkal pingkal. Suasana gembira itu berhenti ketika ada suara telepon berdering di handphonenya. Soraya langsung berdiri menghampiri handphonenya.
“Halo selamat sore.”
“Mawar senja..selamat sore,” suara di seberang sana menggetarkannya. Di dunia ini hanya satu orang yang memanggilnya mawar senja. Hagen. Hagenkah itu? Betulkah dia? Soraya lupa lupa bahwa suara di seberang sana menunggu jawabannya.
“Mawar….mawar senja….” Suara itu meninggi, mengusir kerasa ketidak percayaannya.

“Ya..ya…Mas Hagen, selamat sore,” jawab Soraya tersendat., gugup bukan hanya karena debaran hatinya saja, karena di dekatnya ada Dr Jose juga yang memandanginya terus.
“Apa kabar mas, tumben sore sore begini telepon. Apa udah pulang kerja dari kantor mas? Tahu nomor teleponku dari mana mas?” Tanya Soraya. Sejak pertemuannya terakhir dulu di bandara Adi Sucipto Jogyakarta mereka tidak pernah berjumpa lagi. Padahal dia sangat mengharapkan pertemuan lagi.
“Ha..ha..ha, ini masih di kantor, ada lemburan banyak sekali. Kalo masalah nomor telepon, bagiku mudah sekali, tinggal klik, nomor telepon orang orang seluruh dunia juga aku tahu. Bagaimana kabarmu sekarang? Apakah saat ini aku mengganggumu? Suamimu ada, apa boleh aku berkenalan? Maaf aku tidak sempat bertemu dengannya dulu. Kayaknya aku sudah ketinggalan banyak berita nih.” Kembali suara hagen meluncur bertubi tubi.
Dengan rasa nyeri Soraya menyahut,” Mas Mirza sedang keluar mencari alat alat mobil,’ dustanya ingin menutupi kesendiriannya. Suaranya pelan agar tidak terdengar Dr Jose. Dilihatnya Dr Jose sekarang sedang berbicara dengan Cahaya, jadi dia tidak mendengar suaranya.

“Oh, rupanya hobi ngutak atik mobil seperti aku ya. Wah…..aku bisa  join nih. Kapan kapan aku kerumahmu. Anak anak bagaimana? Berapa sih anakmu sekarang?” Tanya Hagen kembali.
“Anakku baru satu mas,perempuan” jawab Soraya.
“Ah, bahagianya kamu, tentu rumahmu ramai terus ya,”Ada perasaan nyeri pada pertanyaan Hagen, tetapi Soraya tidak berusaha tahu.
“Pasti dia mirip kamu ya? Apa juga senang menyanyi, menari, dan hem…main sepatu roda seperti ibunya dulu? Atau ceriwisnya yang nurun. Ceriwis itu bukan berarti bawel loh, tapi….menggemaskan..ha..ha..ha” katanya lagi sambil tertawa keras. Hampir saja Soraya protes ketika dikatakan ceriwis. Warna merah tersirat di wajahnya., antara perasaan senang, malu dan juga sedih atas kata kata tadi. Ah, Hagen masih tetap seperti dulu. Sering memberi pujian, telaten  membimbing tapi juga senang menggoda. Bagaimana kalau istrinya sampai tahu kal;au saat ini dia sedang telepon dengan wanita yang pernah singgah di hatinya, seorang janda lagi.


Bayang Bayang Ayah Puisiku

Dibalik kesuksesan Dr Jose di karirnya, ada bayangan sang ayah, Jose Sr., Pria setinggi 175 cm dan berat 90 kg. Lelaki yang mempunyai hati yang keras. Dijuluki anak anaknya “Sang Jaksa”, karena terlalu keras dalam mendidik anak. Jose Sr. adalah orang Amerika menikah dengan ibunya Dr Jose, wanita Indonesia. Ketika pindah dari Alabama ke Florida, ia “mengangkut” Sarah sang istri dan  keempat  anaknya beserta perabotan rumah tangga dengan bus, yang mereka namai The Green Bird Inn.

Ia memutuskan, mereka sekeluarga tinggal di dalam bus yang di parkir di taman parkir kota. Sang Jaksa memang menaruh harapan pada anak ketiganya, Jose Jr., yang dikatakannya,’ Otaknya besar sekali.” Jose Jr. gemar sekali membaca, sehingga ditempatkan di kelas khusus oleh guru guru SD-nya walau berumah dalam bus.

Setelah tujuh tahun tinggal di taman parkir, mereka sekeluarga pindah ke beberapa tempat lain. Ketika Sang Jaksa mulai kehabisan uang, ia mengajak keempat anaknya lelakinya bekerja sebagai pemetik apel. Hampir seluruh buruh petik  berasal  dari Mexico. Di situlah Jose Jr. mulai mengenal bahasa Mexico dan dongeng negeri  utara dan selatan.
Sang Jaksa membeli perahu bekas. Rencananya, akan dijadikan rumah mereka, sambil meneyewakan untuk memancing. Meski tak tahu banyak soal perahu dan buta navigasi, Sang Jaksa melayarkan perahu ke Teluk Mexico. Setelah diserang badai dan membentur karang serta terjebak dalam lumpur sungai, keluarga itu kembali ke bus.

Sementara itu, si cerdas Jose Jr. terus melaju. Lulus SMA, ia masuk Duke University dengan beasiswa penuh. Sang Jaksa sangat bangga. Namun, ia tak pernah menunjukkan kebanggannya di depan si anak.
“Aku tak ingin dia besar kepala,” katanya.
Di Duke University dia bertemu Soraya pertama kali dan jatuh cinta padanya. Jose Jr. sangat  mengagumi sikap ayahnya yang membela orang lemah dan memberi uang pada orang yang benar benar miskin..

Ada kesamaan antara bapak dan anak itu. Jika mempunyai suatu keinginan, tak satupun dari mereka  sudi melepaskan. Sang Jaksa merasa bisa menaklukan semua penghalang, tak ada yang bisa membuatnya surut langkah. Persis anaknya. Ketika Jose Jr. diterima di Harvard Medical School, ia lalu menelepon ke rumah, Sang Jaksa hanya menanggapi dingin. Sejak peristiwa itu, hubungan keduanya semakin memburuk.

Pada suatu hari, saat sang Jaksa bermain sepak bola dalam usia 48 tahun, ia terkena serangan jantung dan meninggal. Setelah pemakaman, Jose Jr. masuk ke “rumah bus”, dan menemukan buku dan surat surat lama Sang Jaksa. Di kursi sopir, Jose Jr. membaca surat yang ditulis ayahnya saat dirinya diterima di fakultas kedokteran. Surat 
yang tak jadi dikirim.
“Ayah cuma ingin kau tahu, betapa bangganya ayah.”
Jose Jr. menangis tersedu sedu..


Cerita Malam Puisiku Yang Menggerimis

Malam itu di salah satu rumah mewah di White Lovett. Ajun Komisaris Polisi Attar Galagos dan Ajun Komisaris Polisi Jafar Askari sedang olah TKP di tempat pembunuhan seorang wanita muda.
“Bagaimana Far, kita langsung meluncur ke tempat pembunuhan sopir taksi atau kita melakukan pengecekkan ulang  di sini sebentar?” Tanya Attar.
“Kita  langsung meluncur ke pembunuhan sopir taksi saja. Lagian tadi kita sudah  mendapat informasi pembunuhan di sini dan beberapa  polisi sudah banyak yang datang untuk mengecek ulang tempat kejadian pembunuhan, “ kata Jafar, dilihat beberapa mobil dan ambulance  polisi sudah berdatangan di White Lovett.
“ Ok, ayo.” Kata Attar.

“Yeeaahhh...meluncur, ayo “kucing jalanan”, ngebut..,” kata Attar, setelah mereka masuk ke dalam mobil. Mobil yang  dia namai Kucing Jalanan.
“Orang gila, ha..ha..ha..ha.” Jafar tertawa melihat tingkah partnernya itu.
“Gimana tadi kasus pembunuhan yang barusan?” Tanya Attar sambil tancap gas membelah jalanan malam itu.

“Yah, pertama kamu pasti tahu wanita yang kita temukan tadi sudah benar benar meninggal. Kedua, dokter belum bisa memastikan penyebab kematiannya sebelum melakukan autopsi. Ketiga, yang paling menyebalkan, tak ada sama sekali sidik jari pembunuhan,” jawab Jafar.
Jafar menambahkan,”untuk sementara, aku curiga wanita cantik itu tidak mati lantaran bunuh diri, melainkan overdosisi narkoba. Perkiraanku sama dengan tim medis kepolisian tadi yang baru tiba di tempat lokasi kejadian, bahwa kemungkinan bukan korban yang meletuskan senjata, meski saat ditemukan, pistol terselip di tangan kanannya.”
“Kalau ia sendiri yang menarik picunya, noda bekas keringat, asap yang keluar pasca letusan, dan pelumas pistol pasti bercampur jadi satu, menimbulkan jejak di telapak tangan. Padahal, saat ditemukan, tanga korban dalam kondisi bersih,” ujar Jafar menirukan kesimpulan tim medis forensic kepolisian.
“Kalau bukan kasus bunuh diri, tentu ada orang lain, mungkin saja pembunuhnya yang sengaja meletakkan pistol di tangan korban,” sambung Jafar.
“Sebelum mati, korban sempat bercinta dengan pembunuhnya,” kata Attar.
“Kelihatannya begitu, ada tetesan sperma di pahanya, lalu pelakunya kabur memakai mobil BMW warna hitam,” kata Jafar.
“Omong omong, siapa nama korban tadi?” Tanya Jafar lagi.
“Sandra Owen, sedangkan rumah tempat pembunuhan tadi milik pacarnya, biasa dipanggil Arthur. Kata para pembantunya, beberapa hari terakhir , Arthur tidak ada di sana.”
“Arthur? Kamu tahu Tar, harga rumah tadi setara dengan 20 tahun gajiku di kepolisian,” lagi lagi Jafar mengeluarkan “ data statistik” yang tak terlalu dibutuhkan rekannya.

Arthur sendiri bukan nama asing di kalangan kepolisian. Meski bukan pengacara, dokter, atau akuntan (profesi profesi “basah” di dunia kerja), Arthur kaya bukan main. Sayang, kekayaannya diperoleh dari berbagai bisnis illegal, seperti rumah judi, transaksi obat terlarang, pub, dan diskotik. Arthur juga bukan pembayar pajak yang baik. Pendek kata, ia layak menyandang gelar mafia.

Toh, sampai detik ini, belum pernah ada borgol kepolisian yang berhasil mengikat kedua tangannya. Apalgi membawanya masuk bui. Arthur selalu lolos, karena ia pandai memanipulasi pembukuan dan melenyapkan barang bukti. Lewat detektif yang menyamar sebagai salah satu pengawal pribadinya, polisi juga tahu, setahun terakhir Arthur punya pacar baru, seorang mantan model. Jafar yakin, pacar baru Arthur itulah yang baru saja mereka temukan tak bernyawa dalam keadaan berbusana minim.

“Sekarang ini banyak sekali kasus pembunuhan, perampokkan, pencurian, dan kejahatan lainnya,” kata Jafar.
“Mereka butuh duit untuk hidup, mereka pikir hidup pasti lebih mudah, kalau banyak duit,”ujar Attar.
“Ya, dengan duit kita bisa berbuat apa saja.”
Kedua terdiam. Attar yang selalu berpikiran paling konyol melontarkan ide setan,” Bagaimana kalau kita merampok bank?”
“Ide gila! Tapi boleh juga. Ha..ha..ha..ha..sahut Jafar.
“Tinggal dor..doorr..door..dan klik, kita dapat uang banyak.ha..ha..ha..ha..” kata Attar lagi.
“ Hei, kita sudah sampai di belakang Mapolres. Waah, sudah ramai sekali,” kata Jafar sambil menyalakan rokok hitamnya.
“Ya, kau lihat tuh, si reporter TV  Joyce Wong dan kameramennya udah nongkrong di sana
,” kata Attar.
“Dia bagianmu, liat bentar lagi dia bakal ke sini,” kata Jafar sambil tersenyum.
“Yuhuu, Mas Attar,” teriak Joyce memanggil Attar. Sambil berjalan kearah mobil mereka.
“Benarkan? Hati hati dengan rayuannya..ha..ha..ha..ha,” kata Jafar.

Sihir Suara Suara Iblis Puisiku

Cahaya bulan seakan akan telah membungkus malam, menenggelamkan suara suara jangkrik di tengah kota. Di atas gedung  Paragon Apartemen, sesosok makhluk yang mengerikan berdiri memandang kota yang sebagian besar penghuninya sudah terlelap.
Bagus Rizal! Kamu harus bunuh semua orang di dunia ini. Kamu harus membalas dendamku. Beri mereka pelajaran. Balas dendam sampai  tuntas!” suara itu datang lagi.

Aku beruntung bisa tinggal di tubuhmu. Heeehhh..! Jika bukan karena si anak anak penyihir itu, aku tak akan kehilangan sebagian besar kekuatanku. Segel ini kuat sekali. Kamu harus membantuku melepas segel yang menyekapku, Rizal. Sudah ratusan tahun aku tersekap dan menderita. Kalau kamu tidak mau membantuku, maka kau harus mati. Bunuh diri,seperti Cora Fischer. itulah satu satunya jawaban.”

Suara suara itu mulai bermunculan lagi. Suara perempuan tiba tiba muncul. Suara suara itu membujuk Dr Rizal untuk meniru kematian seorang wanita muda, Cora Fischer, yang menemui ajal setelah meminum obat anti cemas, valium dan Librium, sekaligus. Perpaduan ini bisa menyebabkan mati otak.
“Ya, aku ingin membunuh otakku agar suara suara itu tak mengganggu lagi,” kata dr Rizal.
“Ha..ha..ha..ha..ha..Manusia bodoh, kamu cuma seonggok daging. Kamu jadi budakku sekarang. Pelayan setiaku. Aku menyuruhmu untuk mati, maka kau akan mati. Matikan otakmu, maka kau akan menyesal seumur hidup. Lebih baik gantung dirimu. Selesaikan ini. Akhiri ceritanya di sini.” Suara itu terdengar lebih serak, Suara laki laki yang kasar.

Hei tunggu sebentar, kalau Rizal mati, lalu kita bagaimana? Kita akan ikut mati juga. Ini tubuh terakhir kita. Jangan sampai dia mati!” Ada suara laki laki tua yang muncul tiba tiba di otaknya.
“Huuuhhh. Menyebalkan! Ketua ikut ikutan datang kesini!”Suara perempuan tua itu mulai meradang. “Ha..ha..ha..ha..ha…”Kau benar ketua. Tubuh ini terlalu lemah.”
“Hei, aku mencium bau salah satu penyihir itu di dekat sini. Sebaiknya kita pergi dari sini secepatnya. Ini bau tubuh Syd, si penyihir dari utara.”Suara yang di panggil ketua terlihat tergetar. Tiba tiba makhluk itu menghilang dari atap aparteman. Dan muncul lagi di kamar tidur Dr Rizal, Makhluk itu berubah lagi menjadi tubuh asli Dr Rizal yang kelelahan. Dr Rizal pingsan.

Bersambung.......


Padepokan Halimun, 21 Juli 2011


· · · Bagikan · Hapus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar