Jumat, 30 Maret 2012

Puisi Ibu

Puisi Ibu

oleh Andrie Enrique Ayyas Camarena pada 27 Juni 2011 pukul 21:31 ·
Puisi Ibu


Prolog

puisiku
seperti sebuah keluarga yang utuh
ada ibu, ayah dan anak
namun aku baru  hidup di rahim puisi ibu
ketika  ayah  meninggal

semua kisahku  terlahir utuh
huruf huruf yang tertulis
sering bercerita padaku
tentang diriku dulu
yang lahir prematur, seberat  500 g
tersimpan di inkubator dan
mengalami kebutaan
tetapi Tuhan Maha pengasih
saat usiaku,
bisa menggenggam ranting ranting pohon
aku  bisa berkata," aku terlahir prematur
500 g dan buta."
dan ibu puisi selalu berkata,
"hiduplah anakku,
ibu mendampingimu."


Masa Kecil Puisiku

ayahku "pergi" saat aku belum sempat bertemu dan bercanda dengannya. Dia wafat akibat kecelakaan lalu lintas, berita sedih itu diterima ibuku dari teman ayah 1 bulan kemudian. Saat itu aku masih berada dalam kandungan ibuku yang baru berusia 6 bulan dan ibuku baru  berusia 30 tahun. Karena ayah dan ibu belum menikah dan hubungan mereka tidak direstui keluarga ayahku, ibuku kebingungan. Maksud hati ingin sekali berdoa di sisi  makam orang yang di kasihinya, namun keadaan tidak memungkinkan. Dalam kebingungan itu, ibuku merasakan perutnya sakit dan semakin sakit. Ia berusaha memegang perutnya sambil menunduk, tapi tetap saja sakitnya tak kunjung reda.

Tiba tiba ibuku merasakan  ada yang mengalir hangat di bawah sana. Ternyata air ketuban yang melindungiku selama di rahim sudah keluar. Ia segera dilarikan di rumah sakit dan masuk ICU. Kondisi yang memburuk membuat dokter menyarankan agar aku segera di gugurkan. kalau tidak,nyawa  ibu yang jadi taruhannya.

"biasanya seorang bayi harus berada di dalam rahim ibunya selama 40 minggu, tetapi anak anda baru memasuki minggu 20. Jika tidak segera di lahirkan, akan membahayakan anda. tetapi jika anda melahirkannya sekarang kemungkinan besar dia tidak bisa ditolong. kalau pun bisa bertahan, dia akan cacat, "kata dokter.

sesaat setelah mendengarkan nasehat dokter, ibuku terdiam. Dia lalu berkata kepada ayah yang sudah meninggal,"suamiku, tolong, jangan bawa pergi anak ini. Setelah kau tidak ada, anak inilah yang akan menemaniku. Aku mohon! jangan bawa anak ini." ibu berdoa sepenuh hati.

Rupanya Tuhan memberikan kasihNya. Malam jam 21.00, aku lahir meski dalam keadan koma. Beratku hanya 500 g, seperenam dari berat bayi normal. Kepalaku sebesar telur, tubuhku hanya sepanjang pena. Pinggulku sebesar ibu jari orang dewasa. Jemariku pun sekurus tusuk gigi, tubuhku berwarna coklat, tidak seperti warna bayi pada umumnya. Begitu kecilnya aku hingga orang dewasa bisa menggengamku.
begitu dilahirkan aku langsung dipindahkan ke inkubator, sebuah masker oksigen terpasang di hidungku dan sebuah selang di mulutku, selang infus juga terpasang di dadaku. Ibuku menangis melihat tubuhku begitu kecil. Ia pernah berkata bahwa ia tidak akan berhenti menangis ketika melihatku seperti itu.

"Maafkan ibu! Maafkan ibu Nak," tangisnya merasa bersalah melahirkanku terlalu cepat.
"Tolong hiduplah! Teruslah hidup anakku. Ayah pasti akan menolongmu, "lanjut ibu sambil melihatku.

Susu yang pertama kali kuminum adalah susu dari selang yang di masukkan ke mulutku. Itupun hanya 1 cc. Ibuku gembira melihatku minum susu walaupun hanya sedikit.

Suatu kali ibuku memasukkan tangannya ke dalam inkubator, ibu menyentuh tanganku seakan akan mencoba memberi semangat hidup kepadaku, ketika ibu menyentuhkan tangannya ke atas jemari tanganku, aku langsung menggenggam tangannya.

"Teruslah hidup!" itulah kalimat yang sering diucapkan ibu saat menjengukku. kalimat yang menjadi kekuatanku untuk terus bertahan hidup.

karena kondisi ibu sudah pulih, dia keluar dari rumah sakit lebih dulu. Setiap hari ibu datang ke rumah sakit membawa ASI untukku. Ia menemaniku minum susu.

Suatu hari, seorang perawat mencabut bagian alat elektrokardiogram dari dadaku, tapi ia mencabut plesternya terlalu kuat sehingga sebagian kecil kulitku ikut tertarik dan menempel di plester. Dadaku berdarah. Kejadian ini meninggalkan bekas luka yang sampai sekarang masih  ada di dadaku.

Bersambung.......

Padepokan Halimun, 27 Juni 2011

· · · Bagikan · Hapus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar