Jumat, 30 Maret 2012

Puisi Ibu ( Bagian 5 )

Puisi Ibu ( Bagian 5 )

oleh Andrie Enrique Ayyas Camarena pada 8 Juli 2011 pukul 15:57 ·
Puisi Ibu ( Bagian 5 )


Penjara Yang Menangis Dalam Puisiku

Ke penjara di Shanghai, Markas Kepolisian Pemerintahan Jepang Di Cina, sang Letkol membawa Ay Lan. Mobil mereka melewati gerbang hitam yang dihiasi lukisan dinding. Pada salah satu lukisan yang berlapis emas terpampang gambar Kaisar Jepang yang seakan sedang mengawasi gambar kerumunan orang yang bekerja di ladang, pabrik, dan kantor.

Mobil itu berhenti di depan sebuah bangunan besar beratap tinggi dengan jendela kecil di tengah. Ay Lan memasuki gedung dengan nafas sesak. Matanya menangkap poster gambar matahari yang terbit di belakang kursi singgasana Kaisar Jepang. Di bawah kursi singgasana itu bertuliskan,"Orang yang tidak bekerja maka ia tidak akan makan."
Rasanya, poster dan tulisan itu tidak tepat untuk kondisinya pada saat ini. yang ada di pikiran dan hati Ay Lan hanyalah sepotong doa,'Ya Tuhan, Lindungilah Fai dan Liem Swie Sian, bawalah hamba pulang pada mereka."

Di sepanjang jalan ia melihat ruang ruang yang dihuni sejumlah lelaki dengan baju terkoyak koyak, dengan percikan darah di mana mana. Tangan mereka diikat di belakang. beberapa bagian tubuh mereka biru memar, ada pula sisa darah kering yang membekas. Ay Lan tak tahan lagi. Tubuhnya gemetar, ia menangis ketakutan. bau darah mengikat urat nadinya, kepalanya bagai dibenturkan ke tembok yang berlumut. Sepi merejam, hanya desir angin busuk, rasa takut membungkus otaknya.

Di depan sebuah ruangan, tubuhnya di dorong masuk. begitu keras hentakan itu, sampai sepatunya terlepas. lantai ruangan itu dingin,sedingin tatapan mata lelaki yang berdiri di belakang meja. Lelaki itu masih muda, tetapi seluruh rambutnya telah memutih.
"beraninya engkau mengkhianati pemerintah Jepang! Selebaran yang dicetak di perusahaanmu akan meracuni masyarakat,"bentak lelaki itu.

Ay Lan bingung. Tak sekali pun ia pernah mencetak selebaran yang isinya mengkritik pemerintah Jepang. Selama ini, ia demikian hati hati dalam menerima pesanan. ia tahu, tindakan seperti itu hanya akan sangat membahayakan diri dan keluarganya. Ay Lan sudah sejak lama memutuskan untuk tidak tersangkut paut dengan hal sekecil apapun dengan pemerintahan Jepang.

lelaki muda itu tidak memberi kesempatan Ay Lan untuk bertanya. malah ia segera memerinthakan anak buahnya untuk membawa Ay Lan ke sel penjara. Namun, Ay Lan nekad, karena ia tahu masyarakat Cina sangat bangga dengan hubungan keluarga.
"Ayahku David Jun Tse, suatu kali nanti kamu pasti ditanyai, apakah pernah menangkapku, karena ayahku kenal baik dengan banyak kalangan atas. jadi, izinlan aku menelponnya."

kesempatan satu satunya itu dimanfaatkan dengan baiuk oleh Ay Lan. sayangnya, dering telepon di rumha ayahnya tak mendapat jawaban. Dengan seringai kemenangan lelaki itu merebut gagang telepon lalu menjambak rambutnya Ay Lan.
"jangan main main denganku wanita sundal!"
Dengan satu kibasan kepala pula, ia memerintahkan anak buahnya untuk menyingkirkan Ay Lan. mereka membawa Ay Lan ke sel  nomor 50.

Di depan pintu sel, Ay Lan menatap lekat nomor 50. Angka itu merupakan pertanda buruk bagi keluarga besarnya. Ibunya meninggal pada usia 50 tahun, di kamar nomor 50 suaminya yang sekarat di tembak tentara jepang meninggal, lalu kakek dari ayahnya pun tewas di bunuh apada usia 50 tahun. Kini sel nomor 50 telah menyambut kedatangannya.


Ibu Puisiku Lebih Cantik Daripada  Cleopatra

Sore itu, sehabis pulang berbelanja bahan makanan untuk kateringnya, Soraya melihat seorang laki laki berdiri di pintu rumahnya. Dia seperti menunggu seseorang."Oh, kau Jos,"desis Soraya terkejut setelah mengetahui siapa laki laki itu.
Soraya dan Dr Jose hanya saling memandang beberapa saat, tanpa ada sepatah kata pun yang terucap.
"Eh, mari silahkan masuk."
"Oh, iya,"kata Dr Jose gugup.
"kau masih cantik seperti dulu Mei Lan. Ya Tuhan, kenapa jantungku selalau berdegup kencang jika menatapmu,"kata Dr Jose dalam hati. Dr Jose sering memanggil Soraya dengan Mei Lan, itu nama kecilnya dulu.
"Silahkan duduk."
"Oh, iya, terima kasih."
"Suaramu masih merdu Mey Lan," Kata Dr Jose lagi dalam hati. Cinta itu seperti burung burung yang terbang bebas di langit biru dan angin akan menentukan kapan burung itu akan hinggap pada ranting ranting pohon. daun daun akan menghijau pada bunga bunga yang mewangi di sayap sayap waktu.

Sebelum bertemu Mey Lan, Dr Jose adalah sosok laki laki playboy. Bersenang senang dengan banyak perempuan. Dia memang mempunyai banyak pacar, tapi dia juga seorang laki laki pecinta deni sastra, sejarah dan musik meski  kuliah di fakultas kedokteran. Semua berawal dari  bunga tidur. Dr Jose pernah bermimpi melihat seorang gadis belia yang cantik dengan rambut yang lebat di sebuah taman. Dr Jose segera tertambat hatinya, melihat senyumnya yang memabukan. baru saja ia ingin menghampirinya, gadis itu tiba tiba menghilang dari pandangan matanya. Dr Jose terduduk lemas, ia merasa ada bagian dari dirinya yang hilang.

Impian itu memenjarakan hatinya. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa gadis cantik itu hanya sekedar impian. Setiap hari Dr Jose selalu berpikir, alangkah bahagianya bila ia bisa memiliki gadis impian tersebut. Perkara rindu dendam ini membuat dia jatuh sakit yang tak dapat terobati oleh dokter mana pun.

Soraya, ibuku lahir dengan nama kecil Mey Lan Wang Ch'iang. pada malam kelahirannya, nenekku Liem Swie Sian melihat sekumpulan bintang bintang yang menyala terang di atas rumahnya. Nenekku juga melihat seberkas sinar keemasan memancar dari langit dan untuk beberapa saat menyinari perutnya. Pertanda alam ini lalu ditafsirkan kakek dan neneku sebagi nasib baik yang senantiasa menaungi kehidupan putrinya.

Mey lan tumbuh sebagai gadis belia nan rupawan. gerak geriknya anggun menawan, wajahnya merah jambu bak mawar merah muda. teristimewa paduan alis matanya yang menyerupai bulan sabit, dan sepasang mata yang bersinar seperti bintang kejora. Mungkin burung burung dan ikan ikan akan menyembunyikan diri karena iri melihat kecantikan Mey Lan, yang disempurnakan dengan kecerdasan otak  serta kelembutan hatinya.

Dr Jose bertemu Soraya pertama kali di bangku kuliah. Soraya di mata Dr Jose memang wanita yang cantik dan manis. cara dia menoleh, senyum dan tertawanya yang selalu lepas tanpa beban, membuatnya Dr Jose cinta mati padanya. Cinta buta yang sulit membedakan antara  rasa juice jeruk dan anggur.


Puisiku Terlahir dari Kutukkan Api Neraka

Setiap malam Dr Rizal lebih banyak mengasingkan diri dalam kamar. Itu memang salah satu gejala dari Skizofrenia. Dia memang tak punya alasan untuk meninggalkan kamar. dalam kepalanya ada bermacam macam karakter yang membuatnya sangat sibuk. Bolak balik di dua dunia, dan dia semakin terjerembab lebih dalam ke "neraka", tempat suara suara itu mengambil alih kekuasaan atas dirinya. Seminggu ini dia ketakutan untuk pergi ke luar rumah hanya untuk sekedar mengambil surat kabar karena paranoianya. Jantungnya berdegup kencang dan keringat mengucur di wajahnya saat memikirkan bahwa dia harus berjalan ke luar pintu depan. Dia hanya mengintip dari balik tirai kamar, dengan obsesif mengawasi mobil mobil dan orang orang yang lewat.

Pembantunya pun tidak tahu apa yang sedang di  derita tuannya. Dr Rizal takut orang orang akan memergokinya ketika berbicara denga suara suaranya, yang semakin sering terjadi. Membaca dan menulis tetap menjadi aktivitas satu satunya dalam hidupnya. Agar bisa membebaskan dari suara suara itu. Jika dia pusatkan perhatian pada cerita yang sedang dia baca atau entri entri yang dia tulis dalam  buku hariannya. Konsentrasi itu akan menurunkan volume suara suara itu dan sekali kali bahkan dapat membungkam mereka.

"Hei Rizal, selamat malam."
tiba tiba ada suara yang serak, berat dan kasar tiba tiba muncul di kepalanya. Suara itu beda dari biasanya. Dr Rizal tiba tiba terdiam dan mukanya pucat sekali.
"kau datang lagi?" desis Dr Rizal.
"Ha..ha..ha..ha..ha..ha, pergilah jalan jalan Rizal. carilah bangunan yang tepat untuk melompat. Kamu punya waktu dan kesempatan." suara  itu terus menguntitnya.

Bola mata Dr Rizal tiba tiba menjadi merah dan giginya mulai tumbuh taring. Lalu Dr Rizal melompat ke luar jendela kamarnya. Berlarian menuju kawasan jalan raya. Dia benar benar  bingung dan ketakutan,orang orang yang berlalu lalang semua pada menatap dirinya, dia kemudian berlari mencari tempat berlindung. Suara suara orang di jalanan semakin berdengung di otaknya,diikuti suara suara yang ada di kepalanya.
"Nerakaku semakin bergolak, Rizal mengira bisa terbebas dari kami."
mereka mengejek,"kamu tak akan pernah terbebas dari kami. tak ada ampunan," kata satu suara.
"Tak ada pembebasan,"tambah yang lain.
"Tak ada keringanan atas dosa dosamu,"tegas suara ke tiga.

Tiba tiba orang orang di jalanan membengkak jumlahnya, semua menatapnya dengan pandangan menghina, marah, dan  benci.
"Musuh musuhmu ada di mana mana. Di sekelilingmu. Mereka tahu kamu dikutuk di neraka. Pergilah, lakukan perintah mereka. Mati!"
Sambil terhuyung huyung, Dr Rizal berlari meninggalkan jalanan menuju taman kota.
"Ayo Rizal, cari gedung yang tinggi, naiklah ke atapnya. Cepat. waktunya semakin sedikit,"kata suara itu lagi.

Dr Rizal berlari lagi menuju gedung bekas mall yang dulu pernah terbakar waktu kerusuhan bulan Mei. Suasana gelap gulita, dia berlari masuk langsung naik lewat tangga menuju lantai paling atas. Dengan nafas terengah engah dia sampai di lantai paling atas. lantai lima.
"Lihat semua orang itu. Mereka ke sini untuk mendorongmu jatuh jika kamu tak melakukannya sendiri. Pengecut. Lakukan sekarang!"
Tapi Dr Rizal hanya mematung, kakinya sulit berjalan lagi, wajahnya semakinpucat dan air matanya bercucuran. Dia tersungkur jatuh.
"Ayo cepat bangun. Jangan tidur di situ. Kenapa, kamu takut ?"
"Iiii..iyaa, desis Dr Rizal.
"Ha..ha..ha..ha..ha..ha, Aku akan membebaskanmu jika kamu mau menyerahkan tubuh dan pikiranmu padaku."
Suara itu semakin keras dan memekakan gendang telinganya. Dr Rizal tubuhnya semakin tergetar. Dia ketakutan.
"Ba..baik aku serahkan tubuh dan pikiranku,"rintih Dr Rizal.
"Ha..ha.,.ha...ha...ha..Bagus!" dan suara itu semakin aneh terdengar.
"Aaarrgghhhhhh....!"
Dr Rizal menjerit keras memecah keheningan malam. Bulan yang purnama memberikan cahaya pada sesosok tubuh yang berubah menjadi monster di puncak gedung bekas Mall malam itu.


Nyanyian Malam Puisiku

Pukul 01.00 malam. pak Ali, sopir sekaligus pemilik taksi, tentu tak menyadari nyawanya sedang di ujung tanduk. jarang jarang jam segini dia masih berada di belakang kemudi. Biasanya dia sudah pulang ke rumahnya di Perum Pondok Asri. namun entah mengapa, malam itu dia masih ingin  berputar putar mencari penumpang. Hatinya begitu gembira, ketika melihat tiga pemuda melambaikan tangan, menyetop taksinya.

Meski sudah berusia 60 tahun, lelaki berambut pendek ini masih kelihatan energik, seridaknya jika dibandingkan dengan orang tua seusianya. Dengan tenang, Pak Ali membuka pintu depan, mempersilahkan penumpang nomor satu masuk. Penumpang nomor dua dan nomor tiga duduk di kursi belakang. Penumpang nomor satu dengan dingin berkata," kantor Mapolres di rute 10!"

Tak sediktpun terbersit kecurigaan dalam dirinya. ya, siapa curiga, jika penumpangnya bertujuan ke kantor polisi? kalau bukan penegak hukum, pasti korban kejahatan yang hendak  melaporkan kemalangannya. Pak Ali yang sudah hafal kawasan itu, segera meluncur melewati Jln. Jend Ahmad Yani lalu ke Jlan. jend Urip Sumoharjo.

Saat mendekati kantor Mapolres, penumpang nomor satu meminta Pak Ali belok ke kiri, ke arah gerbang belakang kantor mapolres yang selalu gelap gulita. Pak Ali mulai menduga duga, hendak ke mana sebenarnya tujuan ke tiga penumpanganya. akhirnya, ketika  taksi hampir sampai ke gerbang belakang Mapolres, penumpang nomor satu menukas cepat.
"Berhenti!"
Pak Ali pun menginjak pedal rem. Saat itulah, tiba tiba penumpang nomor dua menempelkan pisau ke leher pak Ali.

Lelaki tua itu dapat melihat kilatan dan merasakan dinginya senjata tajam, yang seperti pengiris daging dan  sayuran. Setelah itu, penumpang nomor satu menutup mulut Pak Ali dengan kain. sambil memamerkan senjata pencungkil es.
"Jangan coba coba melawan atau membuat gaduh,"katanya sambil mengambil tali lalu mengkat tangan Pak Ali.

sampai di sini, Pak Ali mulai sadar, penumpangnya bukan manusia baik baik. ia juga mulai punya firasat, sesuatu yang buruk bakal menimpanya. Sejurus kemudian, penumpang nomor tiga turun dari mobil, berjalan ke depan kendaraan. Kemudian membuka pintu mobil di kemudi, tempat Pak Ali disandera.
"Turun!"
Pak Ali merasa, ini baru awal dari perlakuan buruk yang bakal segera diterimanya. Instingnya berkata, meski menuruti semua perintah mereka, belum tentu ia akan dilepas begitu saja.

Akhirnya dia memutuskan memberikan  perlawanan. namun,  gerakan spontanya tak banyak menolong. Penumpang nomor satu mendorongnya. Sedangkan penumpang nomor tiga mempermainkan badan Pak Ali dengan lututnya.
"Breeppp."
Sesuatu yang mengerikan terjadi. penumpang nomor dua menusukkan pisau ke perut sang sopir malang itu. Pak Ali tersungkur di selokan, sembari merintih menahan sakit.

Penumpang nomor tiga segera duduk di depan kemudi. Taksi baru saja hendak tancap gas, ketika penumpang yang sudah dikuasai nafsu setan itu melihat tubuh Pak Ali merangkak naik dari selokan.
"Dia masih hidup,"teriak salah satu penumpang.
Penumpang nomor satu dan nomor dua spontan turun dari mobil, lalu tanpa ba-bi-bu menghunjamkan pencungkil es dan pisau dapur ke leher Pak Ali.

Dalam tempo sekejap, Pak Ali terguling kembali  masuk got, tapi tubuhnya tampak masih bergerak gerak. tanpa membuang waktu, penumpang nomor satu dan penumpang nomor dua menghampiri lelaki yang sedang meregang nyawa itu. Secara bersamaan mereka menusukkan pisau dan pencungkil es ke daerah vital sopir malang itu.
"Breeeppp."
kali ini Pak Ali tak lagi bergerak.

Ketiga penumpang itu tidak menyadari, bahwa sepasang mata yang merah menyala mengamati perbuatan mereka dari atas gedung bekas Mall. Sepasang mata monster yang dapat menembus kegelapan malam sampai ribuan kilometer. Malam itu suara begitu senyap, seperti paus paus biru yang berenang dalam buaian alunan musik mozart, berputar putar mengitari orkestra sunyi di bawah cahaya rembulan.


Bersambung........


Padepokan Halimun, 08 Juli 2011

· · · Bagikan · Hapus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar