Rabu, 14 Maret 2012

Di Matamu, Ada Sebuah Firasat Yang datang Tanpa Senyum

Di Matamu, Ada Sebuah Firasat Yang datang Tanpa Senyum

oleh Andrie Enrique Ayyas Camarena pada 17 Oktober 2011 pukul 21:05 ·
Di Matamu, Ada Sebuah Firasat Yang datang Tanpa Senyum

Masih sama seperti dulu. Kamarmu masih sepi. Kosong. Seperti ditinggal penghuninya. Hanya tampak tiga buket bunga Lyli tergeletak di atas lemari. Dan di kursi inilah kita berada saat itu. Minum ice lemon tea. Mendengarkan suara musik di radio. Saling bercerita tentang kau dan aku. Melihat warna langit berubah perlahan. Menyaksikan terang beranjak gelap. Dan senja dikoyak pelan, terkuak. Seperti untaian tembang dan liukan penari, lalu digetarkan harmoni di kedua bola matamu. Mata yang memberiku banyak waktu untuk melamun, mengobrol, dan menuang dunia fantasiku. Matamu adalah penghubung nurani. Memanjang kokoh. Seperti jembatan gantung, dari akar akar pohon beringin tua. Dari matamu, kutahu kau suka berdiri di tengah jembatan, untuk menjemputku. Menghempaskan rindu kembali ke rerumputan. Kukecup pelan lehermu.  Kau terdiam. Bibirmu mengerut cemberut. Dan kau pun terpejam, tak membiarkan matamu melihat kupergi.

Aku sudah sering mengatakan padamu. Aku tak pernah pergi. Bahkan meski untuk beberapa hari. Tapi aku harus menjalani peranku. Sampai selesai. Menjadi lelakimu. O ya, kau sering memperlihatkan foto foto masa kecilmu, berbincang dengan kenangan, yang sering datang sendirian, berwajah dingin sedingin es kutub utara. Dan aku tak perlu membuktikan apa apa, karena matamu lebih banyak berbicara daripada bibirmu. Bibir yang ringan ringan lucu. Lalu sepasang mata yang menyimpan cinta di hati sebagai perisai. Dan cintaku tumbuh dari matamu untuk mengatur nada nada rindu pada sebuah headphone yang sering menemanimu tidur. Mata itu mempunyai rahasia yang tak kumengerti, karena dia adalah alam semesta yang ada dalam dirimu.

Bisa jadi, aku akan memiliki banyak waktu mengobrol denganmu nanti. Yang sebenarnya mengagumimu diam diam sejak dulu. Jika tidak, bagaimana mungkin aku sampai meminjam buku, puisi, saputangan dan memandang wajahmu lekat lekat tanpa izin. Saat itu kau begitu cantik dan manis. Kini di sinilah aku. Di dalam matamu yang membuatku selalu telanjang. Di matamu ada sebuah firasat yang datang tanpa senyum. Aku kembali berusaha melihat matamu, namun aku kembali tersesat dalam labirin, dan tak bisa bernafas. Dan kematian mulai menyentuh sekujur tubuh.

Aku ingin mata itu bisa mengantarku ke manapun. Dalam hati aku berteriak. Terbukalah untukku. Aku ingin kau memandangku seperti dulu lagi. Aku tak tahu siapa yang ada di matamu, jika kau terpejam seperti itu. Biarkan hanya aku yang kau lihat. Namun kau tetap terpejam. Di situlah, di kedua telapak tanganku, kuletakan matamu. Terbuka utuh. Sepenuhnya. Hanya memandangku.

Di matamu,
Ada sebuah firasat mungil
Terlanjang, bersembunyi dalam labirin
Berjalan sendiri, entah rindu atau benci
Ada sedikit nyeri, membentur rasa hangat
Pahit manis menyentuh sekujur tubuh
Saat kau bilang,” cintaku mulai hidup dan bersuara di pangkuanmu”
Tapi dia masih sedingin embusan angin malam
Yang mengagumimu diam diam, sejak dulu
Untuk membuka kancing kancing rindu
Satu per satu

Pertama kali melihatmu,
Aku ingin meletakan sidik jari di hatimu
Membekas seperti warna pelangi
Aneka warna saling bertumpuk
Merah, jingga, kuning, hijau dan biru
Tak berbentuk dan berbingkai
Namun, ketika hatimu di balik
Yang terlihat di permukaan
Hanyalah deretan kaligrafi yang indah
Dan seuntai doa sholawat para syuhada

Mungkin cintaku telah mati
Tapi dia bisa membela diri,
Mati matian
Untuk mengikat sejuta kenangan
Di ruang ruang sunyi
Meski diriku tak secemerlang lukisan pagimu


Padepokan Halimun, 17 Oktober 2011



· · · Bagikan · Hapus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar