Jumat, 30 Maret 2012

Puisi Ibu ( bagian 2 )

Puisi Ibu ( bagian 2 )

oleh Andrie Enrique Ayyas Camarena pada 29 Juni 2011 pukul 21:01 ·
Puisi Ibu ( bagian 2 )


Penyakit Penyakit Yang di Derita Puisiku

setelah bisa minum susu 6 cc, pertumbuhan fisikku tampak nyata. Mataku mulai terbuka dan aku seperti bayi normal. "Waktu pertama kali melihat matamu terbuka, matamu tampak  jernih sekali, kamu sungguh lucu," begitu cerita ibuku. Mungkin karena peristiwa itu ibuku memberiku nama "cahaya bening'. kata ibu nama itu bisa memberikan cahaya yang jernih dan baik untuk semua orang, mengalirkan kebahagiaan buat semesta.

Keinginan supaya aku bertahan hidup selama mungkin membuatnya semakin tegar. Ibu mencoba menyampaikannya kepadaku dengan menggenggam tanganku erat supaya aku tidak pergi mengikuti ayah.

Suatu siang, salah seorang dokter mendatangi ibu yang sedang bercanda denganku.
"Ibu, saya menyarankan agar cahaya dipindahkan ke rumah sakit di jakarta. saya khawatir matanya rusak karena dia terlalu lama dalam inkubator. Inkubator ini dialiri banyak oksigen yang bisa membuatnya terkena ROP ( retinopathy of prematury ), penyakit yang gampang membutakan mata bayi prematur," jelas dokter yang menanganiku itu

Celakanya, rumah sakit  di jakarta jauh letaknya dari tempatku di solo. Ibu takut kalo terjadi apa-apa padaku selama perjalanan ke sana. Akhirnya aku dirawat di rumah sakit yang masih satu kota yang lebih baik dari rumah sakit tempatku dirawat dulu.

Setelah sebulan di rawat, dokter yang merawatku, Dr Rizal  menjelaskan kepada ibuku tentang penyakit yang kuderita. Dia satu per satu menyebutkan penyakit yang kuderita, yaitu kekurangan kalsium dalam darah, tingginya kadar bilirubin dalam darah, anemia, rachitis, dan ROP. kemungkinan besar aku akan mati kalau  salah satu penyakit itu semakin parah.Selama dirawat, aku memang beberapa kali hampir mati. Tapi Dr Rizal  dan beberapa perawat medis dengan sekuat tenaga  berusaha menyelamatkanku. Ibuku tidak bosan bosannya menungguiku, berdoa dan menyemangatiku.

Ibu bercerita,"kalau ibu menangis, kamu sering menggengam tangan ibu, seolah olah berkata,"Ibu jangan menangis , aku akan berjuang."
Dr Rizal yang kemudian menjadi teman bicara ibu juga menghiburnya.
"Ibu, bagi cahaya, dorongan anda sangatlah tak ternilai, belaian anda akan sangat menentramkan hatinya, ucapan anda pasti juga dia dengar."


Ibu Puisiku Bertekat Tidak Menangis Lagi

Saat usiaku empat bulan, dokter mengizinkan aku keluar dari inkubator. Betapa senangnya ibu.Itulah pertama kali aku berada dalam pelukannya.

Ibu terkejut ketika menggendongku, karena tubuhku sangat ringan. Dia kembali menangis. Tapi kali ini tangis bahagia."Anakku, hebat sekali kamu, seringan ini tapi masih bisa hidup sampai sekarang. teruslah berjuang nak, Ibu akan selalu mendampingimu."

Dr Rizal  datang menghampiri kami dan berkata, "ibu, sekarang waktunya minum susu. Ibu sudah menunggu saat ini sejak lama kan? Nah ini waktunya ibu memberikan ASI langsung pada cahaya dengan tangan sendiri. Coba peluk dia bu, dan ini juga pertama kali cahaya merasakan pelukan ibunya."

Dokter memberikan botol susu kepada ibu. "Dokter dan perawat sangat khawatir karena itu pertama kalinya, kamu minum susu tidak dengan selang hidung. Ternyata kamu begitu lahap meneguk susu dan tanpa disadari 50 cc langsung habis. Kamu tentu senang minum pertama kalinya dengan mulutmu sendiri," tutur ibuku.

Lima bulan setelah aku lahir, akhirnya beratku naik menjadi 800 g. Setelah itu,  seminggu sekali aku di bawa ke salah satu rumah sakit di Jakarta untuk di periksa. Setelah menjalani pemeriksaan di rumah sakit, aku di vonis cacat mata oleh para dokter. Dengan perasaan pedih dan putus asa, ibu melangkahkan kaki meninggalkan ruangan dokter. Air matanya terus mengalir hingga badannya bergetar, pikirannya terus melayang, memikirkan masa depanku.

Keesokan paginya, ibuku bertekat tidak akan menangis kala menengokku. Ibu menyadari, kalau menangis di depanku justru akan menurunkan semangat hidupku meskipun aku tidak melihatnya. Di rumah sakit ibu menyapa sambil mengelus elus kepalaku, "selamat pagi cahaya anakku. Lihatlah ibu tidak menangis. Ibu bangga padamu, ayolah nak, berjuanglah bersama ibu.

Enam bulan setelah aku lahir, beratku akhirnya mencapai 900 g. Ibu mulai memikirkan cara membesarkanku. Suatu hari, ibu mengunjungi sebuah sekolah SLB di kota. Ibu menemui seorang guru di SLB dan minta diperkenalkan kepada seorang ibu yang paling baik untuk merawat anaknya yang tuna netra. Ibu bercerita tentang aku dan yang sudah dilakukannya. Ibu juga mengutarakan bahwa ia tidak tahu apa yang harus di perbuatnya.

"Anda sudah memulainya dengan memikirkan yang terbaik bagi anak anda. Tolong lupakan kalau dia tidak bisa melihat. Jadikan tangannya sengai pengganti mata. Tuntunlah tangan untuk menyentuh berbagai benda. Masa depan seorang anak tergantung komitman orang tuanya,"ujar guru itu menyemangati ibu.

Tujuh bulan setelah aku di rawat di rumah sakit, aku diizinkan untuk meninggalkan rumah sakit. Beratku waktu itu 1.800 g. semua biaya rumah sakit ibuku  sampai menjual tanahnya dan ada beberapa  donatur yang membantu pelunasan biaya rumah sakit.

Dua puluh hari  setelah pulang dari rumah sakit, beratku bertambah menjadi 2.200 g. Aku juga mulai bisa minum susu sebanyak 70 cc.

Suatu hari, ibu membawaku ke taman. Di sana ibuku sempat berbincang dengan ibu lain soal kondisiku. Di antara ibu itu ada yang berujar,"Nanti dia tidak bisa apa apa dong kalau tidak bisa melihat. Pasti dia akan merepotkan banyak orang. Di rumah , di sekolah, bahkan di tempat tempat umum dia pasti merepotkan," begitu katanya.ibu langsung membalas,"Dia tidak akan merepotkan anda. Tolong jangan ikut campur hal yang bukan urusan anda!"


Bersambung...

Padepokan halimun 29 Juni 2011
· · · Bagikan · Hapus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar