Mengunjungi Robert Frost Dan Husni Hamisi
oleh Andrie Enrique Ayyas Camarena pada 17 Juli 2011 pukul 21:33 ·
Mengunjungi Robert Frost Dan Husni Hamisi
Puisi adalah pengalaman tentang kebebasan. Sang penyair menanggung resiko resikonya sendirian, kesempatan kesempatan seluruhnya ada dalam puisinya, seluruhnya bersama setiap sajak yang ditulisnya.
Di setiap baris, disetiap frase kemungkinan untuk gagal akan tersembunyi. Kemungkinan bahwa seluruh puisi, bukan hanya sajak yang terpisah itu, akan gagal bisa saja terjadi. Hidup juga seperti itu: di setiap momen kita bisa kehilangan suatu hal. Di setiap momen ada resiko kesementaraan. Tiap tiap kali kita harus memilih di antara beberapa pilihan hidup.
“Dan kau tak bisa mengubah pikiranmu. Setiap tindakan, setiap sajak tak bisa dibatalkan selamanya. Di setiap sajak seseorang terikat selamanya. Namun kini masyarakat telah melepas tanggung jawab. Tak seorangpun ingin memutuskan sesuatu untuk dirinya sendiri. Seperti para penyair yang sekedar meniru para pendahulunya.”
“Lalu apakah itu seperti tradisi?”
“Ya, tapi setiap penyair terlahir untuk mengekspresikan sesuatu yang menjadi miliknya. Dan tugas pertamanya adalah untuk menampik para pendahulunya, retorika dari mereka yang datang sebelum dia. Tatkala aku mulai menulis, aku menemukan bahwa kata kata dari para penulis terdahulu tak lagi berguna bagiku: kata kata itu hanya berguna bagiku untuk menciptakan bahasaku sendiri. Dan bahasa itu yang mengejutkan dan membingungkan banyak orang adalah bahasa yang mengitari masa kecil dan masa remajaku. Aku harus menunggu dalam waktu yang panjang sebelum kutemukan kata kataku. Dan sampai sekarang aku masih belum bisa menemuikan gaya dan bahasaku sendiri. karena Kau harus menggunakan bahasa sehari hari.”
“Bahasa sehari hari yang tunduk pada tekanan yang berbeda. Seolah olah setiap kata telah diciptakan hanya untuk mengekspresikan momen tertentu. Sebab ada sejenis kematian dalam kata kata; seorang penyulis Perancis berkata bahwa ‘ citra citra tak bisa dicari, mereka ditemukan’. Aku tak berpikir dia berpendapat bahwa kesempatan memandu penciptaan, melainkan bahwa “pilihan takdir” memandu kita pada kata kata tertentu.”
“Si penyair menciptakan bahasanya sendiri. Lantas dia mesti bertarung melawan retorikanya. Dia tak boleh melarikan diri dari gayanya, dan tak ada gaya gaya puitik. Ketika kau mendapatkan gaya, sastra akan menggantikan sajak.”
“Begitulah kasus yang menimpa beberapa puisi Amerika saat aku mulai menulis. Di sanalah letak segala kesulitan kesulitanku dan bagaiamana aku mulai belajar membaca. Dan sekarang agaknya perlu untuk berkelahi melawan retorika yang kita buat. Dunia kian berlalu dan apa yang kemarin terjadi, baru hari ini akan menjadi usang. Kau harus rileks menghadapi semua ini. Tak perlu terlalu serius dengan semuanya bahkan dengan ide ide kita. Atau justru karena kita terlalu serius dan bergairah, kita harus bisa menertawakan diri sendiri. Jangan percaya pada mereka yang tak tahu bagaimana tertawa.
Robert Frost
Aku berkunjung kerumahnya seminggu ini, ada banyak hal yang membuatku harus mengangkat topiku padanya. Dia tertawa dengan tawa dari seorang lelaki yang telah melihat hujan, dan juga lelaki yang telah merasakan basahnya. Kami berjalan jalan di bukit puisinya, aku mendengar ceritanya tentang puisi dan penyair yang bisa mendengarkan puisinya sendiri. Kemudian kami pulang dengan menuruni bukit. Disambut anjing berbulu awan yang melompat lompat di depan kami. Sembari berjalan, dia bilang padaku:
“Kebanyakan dari kita, tak percaya pada mereka yang tak tahu bagaimana menertawakan diri sendiri. Para penyair yang terlampau serius, professor professor yang tanpa humor, nabi nabi yang hanya tahu menebar kata kata dan berpidato, mereka semua manusia berbahaya.”
“Apa kau membaca para penulis kontemporer?”
“Aku selalu membaca puisi. Aku suka membaca puisi puisi dari para penyair muda. Dan beberapa filsuf, tapi aku tak kuat membaca novel. Kukira aku tak akan pernah bisa selesai membaca satu novel pun.”
Kami terus berjalan. Ketika kami tiba di sebuah dangau, bocah bocah kecil berhimpun mengitari kami. Sang penyair kini berkisah padaku tentang masa kecilnya, tahun tahun di San Francisco, dan kembalinya dia ke New England.
“Inilah negeriku dan aku percaya di sinilah bangsa ini memiliki akarnya. Segalanya tumbuh dari sini. Tahukah kau bahwa Negara bagian Vermont menolak berpartisipasi dalam perang dengan Mexico? Ya, segalanya tumbuh dari sini. Di sinilah bermula hasrat yang mencelup seseorang ke dalam sesuatu yang tak dikenalnya, juga hasrat yang membuatmu tinggal sendirian dengan dirimu sendiri. Kita mesti berjalan mundur kembali jika kita ingin mempertahankan diri kita.”
“Itu tampak seperti keindahan yang sukar bagiku, kataku.”
“Bertahun tahun silam aku berpikir untuk pergi ke Negara kecil, ketika kegaduhan setiap orang tak terdengar. Aku pilih Kosta Rika; sewaktu aku siap berangkat, aku tiba tiba menyadari bahwa di sana juga ada perusahaan Amerika yang memainkan iramanya. Aku tak jadi pergi. Itulah alasan kenapa aku di sini, di New England.”
Kami sampai di belokkan. Aku melihat jam tangan; sudah tiga jam berlalu.
“Aku sebaiknya pulang sekarang. Mereka sedang menungguku di bawah sana.”
Dia mengembangkan tangannya. “Kau tahu jalannya?”
“Ya,” jawabku, dan kami berjabat tangan. Ketika aku sudah beranjak beberapa langkah aku mendengar suaranya: “kembalilah segera! Dan saat tiba di new York, tulis surat buatku. Jangan lupa.”
Husni Hamisi
Aku jawab dengan anggukkan. Aku melihatnya mendaki seraya bermain main dengan anjingnya. “dia sudah tua sekali.” Renungku. Sewaktu aku berjalan lagi, aku teringat saudaraku, dia seorang penyendiri di kampungnya. Kukira Robert Frost akan senang berkenalan dengan Si Topi Jerami Husni Hamisi. Namun bagaimana mereka bisa saling memahami satu sama lain? Si Topi Jerami bahasa inggrisnya belum begitu bagus ( maaf ya my brader..:) ), dan Si Amerika tak mengerti bahasa Indonesia, mungkin mereka berdua butuh penterjemah atau saling belajar bahasa asing. Meski begitu, keduanya akan saling tersenyum. Aku yakin mereka akan langsung bersahabat. Aku ingat sebuah rumah di Rocafort, di Valencia, liar, dengan kebun yang terabaikan, dengan ruang tamu dan perabotan yang diselimuti debu. Dan Husni Hamisi, dengan rokok yang mengepul di mulutnya seperti lelaki tua yang telah berjarak dari dunia, dan dia pun tahu bagaimana tertawa,dan tahu bagaimana hidup rileks. Seperti Robert Frost, dia suka ilmu ilmu agama, filsafat, bukan filsafat yang ada di sekolahan, melainkan di pinggiran. Orang orang arif itu : Si Robert Frost dengan pondoknya, si Husni Hamisi dengan kedainya. Dan Si Topi Jerami juga mengingatkan bahaya dari keseriusan yang berlebihan dan dia punya senyum yang lepas seperti Monkey D Ruffy dan Frost.
“Ya, Si Amerika punya baju yang lebih bersih dan punya pohon yang lebih banyak untuk dipandang, tapi senyum si Topi Jerami kadang terlihat sedih dan elok. Ada salju yang indah dalam sajak sajak si lelaki tua Amerika, namun ada debu, legenda, sejarah dalam sajak sajak si bijak dari Makasar. Debu debu lubang hitam, debu Makasar itu, akan berhamburan di antara kedua tanganku segera setelah aku menyentuhnya dan akan membawaku masuk ke kastilnya yang penuh misteri, yang aku sendiri sering bergidik jika akan memasukinya. Dalam kastil itu, aku menemukan banyak kelembutan dan kebaikan hati seseorang yang bijaksana.....
Padepokan Halimun, 17 Juli 2011
Puisi adalah pengalaman tentang kebebasan. Sang penyair menanggung resiko resikonya sendirian, kesempatan kesempatan seluruhnya ada dalam puisinya, seluruhnya bersama setiap sajak yang ditulisnya.
Di setiap baris, disetiap frase kemungkinan untuk gagal akan tersembunyi. Kemungkinan bahwa seluruh puisi, bukan hanya sajak yang terpisah itu, akan gagal bisa saja terjadi. Hidup juga seperti itu: di setiap momen kita bisa kehilangan suatu hal. Di setiap momen ada resiko kesementaraan. Tiap tiap kali kita harus memilih di antara beberapa pilihan hidup.
“Dan kau tak bisa mengubah pikiranmu. Setiap tindakan, setiap sajak tak bisa dibatalkan selamanya. Di setiap sajak seseorang terikat selamanya. Namun kini masyarakat telah melepas tanggung jawab. Tak seorangpun ingin memutuskan sesuatu untuk dirinya sendiri. Seperti para penyair yang sekedar meniru para pendahulunya.”
“Lalu apakah itu seperti tradisi?”
“Ya, tapi setiap penyair terlahir untuk mengekspresikan sesuatu yang menjadi miliknya. Dan tugas pertamanya adalah untuk menampik para pendahulunya, retorika dari mereka yang datang sebelum dia. Tatkala aku mulai menulis, aku menemukan bahwa kata kata dari para penulis terdahulu tak lagi berguna bagiku: kata kata itu hanya berguna bagiku untuk menciptakan bahasaku sendiri. Dan bahasa itu yang mengejutkan dan membingungkan banyak orang adalah bahasa yang mengitari masa kecil dan masa remajaku. Aku harus menunggu dalam waktu yang panjang sebelum kutemukan kata kataku. Dan sampai sekarang aku masih belum bisa menemuikan gaya dan bahasaku sendiri. karena Kau harus menggunakan bahasa sehari hari.”
“Bahasa sehari hari yang tunduk pada tekanan yang berbeda. Seolah olah setiap kata telah diciptakan hanya untuk mengekspresikan momen tertentu. Sebab ada sejenis kematian dalam kata kata; seorang penyulis Perancis berkata bahwa ‘ citra citra tak bisa dicari, mereka ditemukan’. Aku tak berpikir dia berpendapat bahwa kesempatan memandu penciptaan, melainkan bahwa “pilihan takdir” memandu kita pada kata kata tertentu.”
“Si penyair menciptakan bahasanya sendiri. Lantas dia mesti bertarung melawan retorikanya. Dia tak boleh melarikan diri dari gayanya, dan tak ada gaya gaya puitik. Ketika kau mendapatkan gaya, sastra akan menggantikan sajak.”
“Begitulah kasus yang menimpa beberapa puisi Amerika saat aku mulai menulis. Di sanalah letak segala kesulitan kesulitanku dan bagaiamana aku mulai belajar membaca. Dan sekarang agaknya perlu untuk berkelahi melawan retorika yang kita buat. Dunia kian berlalu dan apa yang kemarin terjadi, baru hari ini akan menjadi usang. Kau harus rileks menghadapi semua ini. Tak perlu terlalu serius dengan semuanya bahkan dengan ide ide kita. Atau justru karena kita terlalu serius dan bergairah, kita harus bisa menertawakan diri sendiri. Jangan percaya pada mereka yang tak tahu bagaimana tertawa.
Robert Frost
Aku berkunjung kerumahnya seminggu ini, ada banyak hal yang membuatku harus mengangkat topiku padanya. Dia tertawa dengan tawa dari seorang lelaki yang telah melihat hujan, dan juga lelaki yang telah merasakan basahnya. Kami berjalan jalan di bukit puisinya, aku mendengar ceritanya tentang puisi dan penyair yang bisa mendengarkan puisinya sendiri. Kemudian kami pulang dengan menuruni bukit. Disambut anjing berbulu awan yang melompat lompat di depan kami. Sembari berjalan, dia bilang padaku:
“Kebanyakan dari kita, tak percaya pada mereka yang tak tahu bagaimana menertawakan diri sendiri. Para penyair yang terlampau serius, professor professor yang tanpa humor, nabi nabi yang hanya tahu menebar kata kata dan berpidato, mereka semua manusia berbahaya.”
“Apa kau membaca para penulis kontemporer?”
“Aku selalu membaca puisi. Aku suka membaca puisi puisi dari para penyair muda. Dan beberapa filsuf, tapi aku tak kuat membaca novel. Kukira aku tak akan pernah bisa selesai membaca satu novel pun.”
Kami terus berjalan. Ketika kami tiba di sebuah dangau, bocah bocah kecil berhimpun mengitari kami. Sang penyair kini berkisah padaku tentang masa kecilnya, tahun tahun di San Francisco, dan kembalinya dia ke New England.
“Inilah negeriku dan aku percaya di sinilah bangsa ini memiliki akarnya. Segalanya tumbuh dari sini. Tahukah kau bahwa Negara bagian Vermont menolak berpartisipasi dalam perang dengan Mexico? Ya, segalanya tumbuh dari sini. Di sinilah bermula hasrat yang mencelup seseorang ke dalam sesuatu yang tak dikenalnya, juga hasrat yang membuatmu tinggal sendirian dengan dirimu sendiri. Kita mesti berjalan mundur kembali jika kita ingin mempertahankan diri kita.”
“Itu tampak seperti keindahan yang sukar bagiku, kataku.”
“Bertahun tahun silam aku berpikir untuk pergi ke Negara kecil, ketika kegaduhan setiap orang tak terdengar. Aku pilih Kosta Rika; sewaktu aku siap berangkat, aku tiba tiba menyadari bahwa di sana juga ada perusahaan Amerika yang memainkan iramanya. Aku tak jadi pergi. Itulah alasan kenapa aku di sini, di New England.”
Kami sampai di belokkan. Aku melihat jam tangan; sudah tiga jam berlalu.
“Aku sebaiknya pulang sekarang. Mereka sedang menungguku di bawah sana.”
Dia mengembangkan tangannya. “Kau tahu jalannya?”
“Ya,” jawabku, dan kami berjabat tangan. Ketika aku sudah beranjak beberapa langkah aku mendengar suaranya: “kembalilah segera! Dan saat tiba di new York, tulis surat buatku. Jangan lupa.”
Husni Hamisi
Aku jawab dengan anggukkan. Aku melihatnya mendaki seraya bermain main dengan anjingnya. “dia sudah tua sekali.” Renungku. Sewaktu aku berjalan lagi, aku teringat saudaraku, dia seorang penyendiri di kampungnya. Kukira Robert Frost akan senang berkenalan dengan Si Topi Jerami Husni Hamisi. Namun bagaimana mereka bisa saling memahami satu sama lain? Si Topi Jerami bahasa inggrisnya belum begitu bagus ( maaf ya my brader..:) ), dan Si Amerika tak mengerti bahasa Indonesia, mungkin mereka berdua butuh penterjemah atau saling belajar bahasa asing. Meski begitu, keduanya akan saling tersenyum. Aku yakin mereka akan langsung bersahabat. Aku ingat sebuah rumah di Rocafort, di Valencia, liar, dengan kebun yang terabaikan, dengan ruang tamu dan perabotan yang diselimuti debu. Dan Husni Hamisi, dengan rokok yang mengepul di mulutnya seperti lelaki tua yang telah berjarak dari dunia, dan dia pun tahu bagaimana tertawa,dan tahu bagaimana hidup rileks. Seperti Robert Frost, dia suka ilmu ilmu agama, filsafat, bukan filsafat yang ada di sekolahan, melainkan di pinggiran. Orang orang arif itu : Si Robert Frost dengan pondoknya, si Husni Hamisi dengan kedainya. Dan Si Topi Jerami juga mengingatkan bahaya dari keseriusan yang berlebihan dan dia punya senyum yang lepas seperti Monkey D Ruffy dan Frost.
“Ya, Si Amerika punya baju yang lebih bersih dan punya pohon yang lebih banyak untuk dipandang, tapi senyum si Topi Jerami kadang terlihat sedih dan elok. Ada salju yang indah dalam sajak sajak si lelaki tua Amerika, namun ada debu, legenda, sejarah dalam sajak sajak si bijak dari Makasar. Debu debu lubang hitam, debu Makasar itu, akan berhamburan di antara kedua tanganku segera setelah aku menyentuhnya dan akan membawaku masuk ke kastilnya yang penuh misteri, yang aku sendiri sering bergidik jika akan memasukinya. Dalam kastil itu, aku menemukan banyak kelembutan dan kebaikan hati seseorang yang bijaksana.....
Padepokan Halimun, 17 Juli 2011
- Fahrur Rozi Atma qiqiiqi makin ketauan dan jelas siapa neh di baliknya :p
- Andrie Enrique Ayyas Camarena hahahahahahaha
met malam mas Fahrur Rozi Atma
kwkwkwkwkwkw - Dalasari Pera Gaya menulis mas andrie kali ini mengingatkan saya pada seseorang...heheehee.
so good mas andrie. mas andrie hebat, bisa nulis segala macam. - Andrie Enrique Ayyas Camarena hahahahahaha
semoga seseorang itu bukan yang ada hubungannya dengan cinta ya sis Dalasari Pera..:) - Husni Hamisi aduh..aduh mas andrie . trima kasih, atas sebuah pembacaan dan apreasi persahabatan yang begitu menyentuh di note ini,.. saya jadi apa ya, sangat tersanjung. mas andrie juga salah satu sahabatku di maya ini yang juga diliputi misteri, kata orang tua di kampung saya, orang yang diliputi misteri itu ibarat danau tenang namun dibawahnya kedalamannya tak pernah diukur, saya simpan yah di noteku kawan..
salam purnama sa'ban tuk mas andrie sekeluarga. - Andrie Enrique Ayyas Camarena hehehehehe
aku belajar menulis esai darimu loh mas Husni Hamisi
semoga misterinya aku bisa juga akurasakan ya mas
aku sebenarnya sangat tersanjung bisa menjadi sahabatmu mas
makasih ya..:) - Andrie Enrique Ayyas Camarena qiqiqiqi
apakah octavio paz sis Dalasari Pera?
aku banyak membaca bukunya..:) - Andrie Enrique Ayyas Camarena makasih sis Arganita Widawati
kau juga memiliki hati yang lembut dan hangat sekali..:) - Andrie Enrique Ayyas Camarena hahahahaha..waffle...
waah, aku tambah suka sama hatimu sis Arganita Widawati
eh, mungkim kapan kapan kita bisa ngopi bareng yahh..:) - Andrie Enrique Ayyas Camarena oohhh..qiqiqiqiqi
wah, mulai ada misteri nih sis Dalasari Pera..:) - Andrie Enrique Ayyas Camarena qiqiqiqiqi
makasih ya sis Arganita Widawati..:-) - Muhammad Rain Ayyas itu cuma jarang mau cerita banyak saja pada saya. Seharusnya dia menceritakan hal-hal semacam ini jauh sejak 2010 yang lalu, tapi mungkin sekarang-sekarang ini saja ia menganggap Muhrain kupingnya baru tumbuh untuk benar-benar mendengar dan matanya telah cukup cahaya untuk menyinarkan jiwa badan kata-kata.
Kutunggu kisah selanjutnya.
;-)
- Andrie Enrique Ayyas Camarena hahahahahaha
waah, mas Muhammad Rain, kan aku lagi belajar darimu mas
aku banyak mencuri ilmu dari puisi puisimu dengan diam diam
wwoooo...luar biasa sekali mas
makasih ya mas..:-) - Ezzyla Fi kumenikmatisetiap goresanmu brother:)
apalagi puisi dedikasi begini,
langsung mengena pada tujuan (sahabat yg dituju)
pula diriku yg membacanya..
mantabz.^
Salam hangat..~,*.. - Andrie Enrique Ayyas Camarena hehehehehe
makasih ya my sweet sista Ezzyla Fi
aku sangat mengagumi mereka berdua
dan aku juga sangat mengagumi puisi pusismu sis..:-)
siipp..
makasihnya sis - Andrie Enrique Ayyas Camarena sama sama my sweet sista Dian Aza, note ini aku buat dan
kubungkus baranya cinta, dan lembutnya kesetiaan dan ketulusan.. semoga terasa empuk
dan adanya rasa mendirikan di antaranya. :)
hehehehehe,duwh takut dengan serdadu pujianmu yang berlebhan itu.. semoga hari harimu selalu indah indah, sis...:)
makasih ya - Andrie Enrique Ayyas Camarena hahahahaha
kau juga mantab mas Rangga Umara Nh..:) - Erny Susanty pagi ya bradha Andrie Enrique Ayyas Camarena...ini esai yang luar biasa...aku belajar dari sini...syip banget!!
sukses ya bradha Andrie... - Poncowae Lou judulnya " mengunjungi guratan pena Andrie Enrique Ayyas Camarena" aku rak ngerti ternyata selama iki sliramu memang pandai sembunyikan misterimu sendiri. enciiip ah. hehe
- Tosa Poetra Terimakasih kawan, sungguh apresiatif saya pada tulisanmu ini, aku tunggu tulisanmu berikutnya ya
- Andrie Enrique Ayyas Camarena met sore my sweet sista Erny
belajar bareng ya dan saling mendirikan sastra,,:) - Andrie Enrique Ayyas Camarena gubrakss..!!
ok sis tea, nanti malam ya, sebagai dongeng sebelum tidur..:)
sekalian aku minta alamatmu dan no hp biar nanti aku membacanya lebih enak,qiqiqiqiqiqi - Andrie Enrique Ayyas Camarena hahahahahaha
haaalllaahhh, om Poncowae iki loh
kan, kamu yang ngajarin aku om..:)
makasih ya - Andrie Enrique Ayyas Camarena makasih mas Tosa
mohon saran dan masukkannya ya..:) - Tuditea Masditok alamat ? ... aduh dimana ya alamatku, lupa. maaf aku juga gak punya hp. hehehe. (percaya enggak yuaaaa, mudah mudahan sih percaya hehehe )
- Andrie Enrique Ayyas Camarena hahahahahahaha
hufftt, kalo gitu aman..
aku nggak jadi bacain, kan nggak ada alamat dan no hpnya
qiqiqiqiqi - Tuditea Masditok hehehe iya juga ya ... ya udah nanti aku aza yang ke sana minta dibacain, ;p
- Andrie Enrique Ayyas Camarena hahahahahahaha
siipp, aku tunggu di bawah pohon durian yuaaa..:-) - Tuditea Masditok hahahaha enggak banget deh... romantis dikit napa ... ;p
- Andrie Enrique Ayyas Camarena hahahahahahaha
aku tunggu di hatiku ya sis
yang selalu merindu untukmu - Tuditea Masditok wuiiihhhh nyaris pingsan dengernya ... sepertinya aku kenal bahasamu, tapi siapa yuaaaaaaaa (^_^)
- Andrie Enrique Ayyas Camarena hhaallaahhh...
semoga kamu tidak tahu, amien..amien..:) - Andrie Enrique Ayyas Camarena hahahahahaha
aman..aman, qiqiqiqiqi..:-)
maya yang indah ya sis? - Andrie Enrique Ayyas Camarena loh koq sedih sis?
hiks, aku jadi ikutan nangis nih
hiks..hiks - Ilham Q Moehiddin>>>Maaf, mas Ndrie, saya baru bisa berkunjung :)
“Kebanyakan dari kita, tak percaya pada mereka yang tak tahu bagaimana menertawakan diri sendiri. Para penyair yang terlampau serius, professor-professor yang tanpa humor, nabi-nabi yang ha...Lihat Selengkapnya - Andrie Enrique Ayyas Camarena makasih Om Ilham Q Moehiddin
mereka memang manusia berbahaya, maksud aku bukan bahaya bagi semua tapi berbahaya karena biasanya mereka memang sulit di pahami,qiqiqiqiqi
makasih ya Om, mohon saran dan masukannya..:) - Andrie Enrique Ayyas Camarena robert hamisi..hhmmmm
kayaknya mas Husni Hamisi, cocok kalo pake nama itu ya mas Cepi Sabre,qiqiqiqiqi
makasih ya mas - Tuditea Masditok Andrie Enrique Ayyas Camarena : jangan nangis ah, hidup cuman satu kali, kalo kamu nangis, nanti tembang kebogiro ikutan nangis juga ... hihihi ;p
- Marbuth Sastragila kalo gak ditag, biasanya aku malah nongol .. hehe. sip tenan dulur !
- Andrie Enrique Ayyas Camarena qiqiqiqiqi, eh sis tea
ppmu bagus banget, hihihihihihi
maknyuussssssss.....:-) - Andrie Enrique Ayyas Camarena hahahahahaha
dasar wong edan tenan ki kang Marbuth iki
qiqiqiqiqii
kau juga sip kang..:) - Andrie Enrique Ayyas Camarena hahahahahahaha
mas robert, bung hamisi dan mbak KembaRa
met pagi mbak..:) - Arther Panther Olii o, ada si topi jerami. aku sangat bangga padanya. dan sungguh menghormatinya. ^_^
- Andrie Enrique Ayyas Camarena qiqiqiqiqi
kita semua menghormati si topi jerami ya mas Arther Panther Olii
qiqiqiqi
makasih ya mas..:) - Ditha Lastcocaine Arts wah, sekarang notenya bikin aku ngos ngosan semua, tapi terlepas dARI SEMUA ITU, asyik bang... keren, dan aku menikmatinya
- Andrie Enrique Ayyas Camarena makasih ya mas Last Coccaine Dark Poetry
kau jugakeren sekali..:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar