Jumat, 30 Maret 2012

Mengunjungi Robert Frost Dan Husni Hamisi

Mengunjungi Robert Frost Dan Husni Hamisi

oleh Andrie Enrique Ayyas Camarena pada 17 Juli 2011 pukul 21:33 ·
Mengunjungi Robert Frost Dan Husni Hamisi


Puisi adalah pengalaman tentang kebebasan. Sang penyair menanggung resiko resikonya sendirian, kesempatan kesempatan seluruhnya ada dalam puisinya, seluruhnya  bersama setiap sajak yang ditulisnya.

Di setiap baris, disetiap frase kemungkinan untuk gagal akan tersembunyi. Kemungkinan bahwa seluruh puisi, bukan hanya sajak yang terpisah itu, akan gagal bisa saja terjadi. Hidup juga seperti itu: di setiap momen  kita bisa kehilangan suatu hal. Di setiap momen ada resiko kesementaraan. Tiap tiap kali kita harus memilih di antara beberapa pilihan hidup.

“Dan kau  tak bisa mengubah pikiranmu. Setiap tindakan, setiap sajak tak bisa dibatalkan  selamanya. Di setiap sajak seseorang terikat selamanya. Namun kini masyarakat telah melepas tanggung jawab. Tak seorangpun ingin memutuskan sesuatu untuk dirinya sendiri. Seperti para penyair yang sekedar meniru para pendahulunya.”

“Lalu apakah itu seperti tradisi?”
“Ya, tapi setiap penyair terlahir untuk mengekspresikan sesuatu yang menjadi miliknya. Dan tugas pertamanya adalah untuk menampik para pendahulunya, retorika  dari mereka yang datang sebelum dia. Tatkala aku mulai menulis, aku menemukan bahwa kata kata dari para penulis terdahulu tak lagi berguna bagiku: kata kata itu hanya berguna  bagiku untuk menciptakan bahasaku sendiri. Dan bahasa itu yang mengejutkan dan membingungkan banyak orang adalah bahasa yang mengitari masa kecil dan masa remajaku. Aku harus menunggu dalam waktu yang panjang sebelum kutemukan kata kataku. Dan sampai sekarang aku masih belum bisa menemuikan gaya dan bahasaku  sendiri. karena Kau harus menggunakan bahasa sehari hari.”

“Bahasa sehari hari yang tunduk pada tekanan yang berbeda. Seolah olah setiap kata telah diciptakan hanya untuk mengekspresikan momen tertentu. Sebab ada sejenis kematian dalam kata kata; seorang penyulis Perancis berkata bahwa ‘ citra citra tak bisa dicari, mereka ditemukan’. Aku tak berpikir  dia berpendapat bahwa kesempatan memandu penciptaan, melainkan bahwa “pilihan takdir” memandu kita pada kata kata tertentu.”

“Si penyair menciptakan bahasanya sendiri. Lantas dia mesti bertarung melawan retorikanya. Dia tak boleh melarikan diri dari gayanya, dan tak ada gaya gaya puitik. Ketika kau mendapatkan gaya, sastra akan menggantikan sajak.”

“Begitulah kasus yang menimpa beberapa puisi Amerika saat aku mulai menulis. Di sanalah letak segala kesulitan kesulitanku dan bagaiamana aku mulai belajar membaca. Dan sekarang agaknya perlu untuk berkelahi melawan retorika yang kita buat. Dunia kian berlalu dan apa yang kemarin terjadi, baru hari ini akan menjadi usang. Kau harus rileks menghadapi semua ini. Tak perlu terlalu serius dengan semuanya bahkan dengan ide ide kita. Atau justru karena kita terlalu serius dan bergairah, kita harus  bisa menertawakan diri sendiri. Jangan percaya pada mereka yang tak tahu bagaimana  tertawa.

Robert Frost

Aku berkunjung kerumahnya seminggu ini, ada banyak hal yang membuatku harus mengangkat topiku padanya. Dia tertawa dengan tawa dari seorang lelaki yang telah melihat hujan, dan juga lelaki yang telah merasakan basahnya. Kami berjalan jalan di bukit puisinya, aku mendengar ceritanya tentang puisi dan penyair yang bisa mendengarkan puisinya sendiri. Kemudian kami pulang  dengan menuruni bukit. Disambut anjing berbulu awan yang melompat lompat di depan kami. Sembari berjalan, dia bilang padaku:
“Kebanyakan dari kita, tak percaya pada mereka yang tak tahu bagaimana  menertawakan diri sendiri. Para penyair yang terlampau serius, professor professor yang tanpa humor, nabi nabi yang hanya tahu menebar kata kata dan berpidato, mereka semua manusia berbahaya.”
“Apa kau membaca para penulis kontemporer?”
“Aku selalu membaca puisi. Aku suka membaca puisi puisi dari para penyair muda. Dan beberapa filsuf, tapi aku tak kuat membaca novel. Kukira aku tak akan pernah bisa selesai membaca satu novel pun.”

Kami terus berjalan. Ketika kami tiba di sebuah dangau, bocah bocah kecil berhimpun mengitari kami. Sang penyair kini berkisah padaku tentang masa kecilnya, tahun tahun di San Francisco, dan kembalinya dia ke New England.

“Inilah negeriku dan aku percaya di sinilah bangsa ini memiliki akarnya. Segalanya tumbuh dari sini. Tahukah kau bahwa Negara bagian Vermont menolak berpartisipasi dalam perang dengan Mexico? Ya, segalanya tumbuh dari sini. Di sinilah bermula hasrat yang mencelup seseorang ke dalam sesuatu yang tak dikenalnya, juga hasrat yang membuatmu tinggal sendirian dengan dirimu sendiri. Kita mesti berjalan mundur kembali  jika kita ingin mempertahankan diri kita.”

“Itu tampak seperti  keindahan yang sukar bagiku, kataku.”
“Bertahun tahun silam aku berpikir untuk pergi ke Negara kecil, ketika kegaduhan setiap orang tak terdengar. Aku pilih Kosta Rika; sewaktu aku siap berangkat, aku tiba tiba menyadari bahwa di sana juga ada perusahaan Amerika yang memainkan iramanya. Aku tak jadi pergi. Itulah alasan kenapa aku di sini, di New England.”

Kami sampai di belokkan. Aku melihat jam tangan; sudah tiga  jam berlalu.
“Aku sebaiknya pulang sekarang. Mereka sedang menungguku di bawah sana.”
Dia mengembangkan tangannya. “Kau tahu jalannya?”
“Ya,” jawabku, dan kami berjabat tangan. Ketika aku sudah beranjak beberapa langkah aku mendengar suaranya: “kembalilah segera! Dan saat tiba di new York, tulis surat buatku. Jangan lupa.”

Husni Hamisi

Aku jawab dengan anggukkan. Aku melihatnya mendaki seraya bermain main dengan anjingnya. “dia sudah tua sekali.” Renungku. Sewaktu aku berjalan lagi, aku teringat saudaraku, dia seorang penyendiri di kampungnya. Kukira Robert Frost akan senang berkenalan dengan Si Topi Jerami Husni Hamisi. Namun bagaimana mereka bisa saling memahami satu sama lain? Si Topi Jerami bahasa inggrisnya belum begitu bagus ( maaf ya my brader..:) ), dan Si Amerika tak  mengerti bahasa Indonesia, mungkin mereka berdua butuh penterjemah atau saling belajar bahasa asing. Meski begitu,  keduanya akan saling tersenyum. Aku yakin mereka akan langsung bersahabat. Aku ingat sebuah rumah di Rocafort, di Valencia, liar, dengan kebun yang terabaikan, dengan ruang tamu dan perabotan yang diselimuti  debu. Dan Husni Hamisi, dengan rokok yang mengepul di mulutnya seperti lelaki tua  yang telah berjarak dari dunia, dan dia pun  tahu bagaimana tertawa,dan tahu bagaimana  hidup rileks. Seperti Robert Frost, dia suka ilmu ilmu agama, filsafat, bukan filsafat yang ada di sekolahan, melainkan di pinggiran. Orang orang arif itu : Si Robert Frost dengan pondoknya, si Husni Hamisi dengan kedainya. Dan Si Topi Jerami  juga mengingatkan bahaya dari keseriusan yang berlebihan dan dia punya senyum yang lepas seperti Monkey D Ruffy dan Frost.

“Ya, Si Amerika punya baju yang lebih bersih dan punya pohon yang lebih banyak untuk dipandang, tapi senyum si Topi Jerami kadang terlihat sedih dan elok. Ada salju yang indah dalam sajak sajak si lelaki tua Amerika, namun ada debu, legenda, sejarah dalam sajak sajak si bijak dari Makasar. Debu debu lubang hitam, debu Makasar itu, akan berhamburan di antara kedua tanganku segera setelah aku menyentuhnya dan akan membawaku masuk ke kastilnya yang penuh misteri, yang aku sendiri sering  bergidik jika akan memasukinya. Dalam kastil itu, aku menemukan banyak kelembutan dan kebaikan hati seseorang yang bijaksana.....



Padepokan Halimun, 17 Juli 2011

· · · Bagikan · Hapus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar