Jumat, 30 Maret 2012

Puisi Ibu ( bagian 4 )

Puisi Ibu ( bagian 4 )

oleh Andrie Enrique Ayyas Camarena pada 4 Juli 2011 pukul 21:55 ·
Puisi Ibu ( bagian 4 )


Utusan Iblis Yang Tertidur dalam Puisiku

Setengah berlari, dalam kebingungan Dr Rizal menyeret tubuhnya sepanjang satu mil menuju rute 70, sebuah jalan padat lalu lintas. Rencananya, melompat ke depan sebuah mobil. Dia berdiri di sisi jalan. Namun, dia melihat lampu sorot di atas mobil. Bagaimana jika itu mobil polisi? Bagaimana jika polisi itu datang untuk menahannya? Dengan panik dia kembali berlari dari jalan. Rizal belum menyadari bahwa sepasang taring kecil telah tumbuh di giginya dan bola matanya berwarna merah. malam itu daun daun membeku dan angin tertidur, membungkus dirinya menemani cahaya bulan yang purnama di langit.

Besok malamnya, Dr Rizal menemui temannya, seoprang psikiater, Dr Antonio, yang merupakan sahabat dekat Dr Rizal, selain dengan Dr Jose. Mereka merupakan tiga sahabat kental. Sebenarnya ada lima orang tapi yang dua orang sudah meninggal. Dengan Dr antoniolah biasanya rizal berkonsultasi tiap saat.

"Hanya suara suara itulah yang kumiliki. Mereka mendesakku untuk melarikan diri. Kadang kadang aku melihat suara suara itu. Penampakkan itu nyata dan mengerikan. Si penguasa, yang suaranya paling dominan, adalah iblis, bukan setan dengan wajah merah dan bertanduk, melainkan seekor serigala yang lebih besar daripada serigala betulan, berdiri tegak  dengan dua kaki. Suara suara lain, setan setan yang lebih kecil, adalah sekawanan anjing liar, tapi juga manusia, kata Rizal."

Dia merebahkan tubuhnya di kursi, desah nafasnya selaras dengan angin yang berhembus di ruangan itu. Asap  rokok Rizal menggantung tipis di atas kepalanya dan wangi pengharum ruangan menggenangi udara."kamu tahu nggak Antonio, kalau suara suara itu semakin sering terdengar sejak kematian Hilda dan Isaac di lautan siberia, katanya pelan."

Hilda dan Issac, adalah sepasang kekasih, mereka berdua mati tenggelam ke dasar lautan siberia ketika kapal yang mereka tumpangi tenggelam. Rizal yang waktu itu lagi sakit, tidak bisa berenang, dan pelampung hanya ada 3 buah. Hilda dan Issac tenggelam ke dasar lautan karena menolong Rizal dan jasad mereka masih utuh tersimpan dalam kapal. Mungkin laut menjaga tubuh mereka untuk menghormatinya. Rizal, Jose dan Antonio selamat setelah ditolong sebuah kapal yang melintas di lautan siberia, setelah terombang ambing selama 3 hari.

"Ada kesenangan menjadi gila yang tak dapat dirasakan oleh orang lain kecuali orang gila, kata antonio."
"kau benar antonio, dan suara suara itu telah mengisi tempat khusus dalam hidupku. Tanpa mereka, aku merasa sendirian, tapi aku merasa tersiksa dengan suara suara itu. Mereka sering mempengaruhiku hingga aku harus membuang diri masuk ke alam mereka."

"Dulu, orang tuaku mengajakku menemui ayahmu, Dr Timothy. Setelah berbicara denganku, dokter Timothy bicara dengan ayah. Wajah ayah berubah. Setiba di rumah, aku bertanya padanya tentang penyakitku. Ayah memberi selembar kertas, bertuliskan:Skizofrenia, kenang Rizal."

"Pukul 10.00 keesokkan harinya, aku pergi ke perpustakaan, mencari arti kata itu di kamus kedokteran. Ternyata, Penyakit Jiwa!"


Aku Mencintai Ibu Puisiku

Setiap hari, ibuku bangun pukul 03.00 untuk memasak makanan. Dia melakukannya sendirian. Dia tidak pernah mengeluh capek meskipun harus menyiapkan 50 - 70 boks makanan, kadang bisa 100 boks lebih malahan. Bisa kubayangkan saat itu pasti ibu lelah sekali. Setelah itu, dia membangunkanku, mengajakku makan pagi bersama, dan mengantarku ke sekolah. Cahaya pagi menyiram atap atap rumah, yang dibiaskan lembut oleh celotehan anak anak yang berangkat sekolah.

Selama aku berada di sekolah, ibu mengantarkan makanan ke pelanggan. Mereka bilang masakan ibu sangat enak. Jika jam sekolah telah usai dan ibu belum menjemputku, aku biasanya duduk di koridor sekolah, menunggu ibu.

Sepulang mengantar semua makanan, ibu mengajakku makan siang. Saat makan siang itu ibu bercerita tentang pertemuannya dengan pelanggannya. kalau ada pemesan yang ternyata tak bisa ditemui, ia akan menawarkan makanan itu ke orang lain. Kasihan ibu ibu, harus ke sana ke mari menawarkan makanan. Selesai makan,  ibu akan mengajakku bermain.

Menjelang sore, ibu pergi berbelanja bahan makanan untuk esok hari. Ibuku biasanya berbelanja sambil menggendongku. tapi biasa pula, aku sendirian menjaga rumah selama ibu tidak ada di rumah, aku akan tidur dan setelah bangun berusaha membantu ibu.

Ibu pernah bercerita, "Sepulang sekolah kamu pernah bertanya,"Ibu, Cahaya itu tidak bisa melihat ya?" Ibu terkejut sekali.
"Memang kenapa?"
"Habis waktu aku bilang mau main ayunan, teman teman bilang bahaya, soalnya Cahaya tidak bisa melihat."

Aku tunanetra. tetapi aku sendiri tidak tahu bagaimanakah tidak dapat melihat itu dan seperti apakah melihat itu. Waktu aku tanyakan hal itu kepada ibu, "Cahaya, matamu tidak bisa melihat, tetapi kamu bisa melakukan hal hal yang bisa di lakukan teman temanmu. Makanya, kamu jauh lebih hebat daripada mereka, "jawab ibuku membesarkanku hatiku.

Suatu ketika ada perlombaan olah raga di sekolah. Suatu perlombaan yang mengharuskan seorang ayah berlari dengan menggendong anaknya di punggung. waktu itu ibu bilang,"Biar ibu saja  yang menggendongmu."Tapi aku menjawab sambil menangis,"aku mau ayah yang menggendongku."
hati ibu sedih sekali mendengarnya. Ibu memang pernah bercerita bahwa ayah sedang tugas, bekerja di tempat yang sangat jauh. Ibu berbohong karena waktu itu aku masih kecil dan tidak mengerti apa itu kematian.


Tanah Kelahiran Ibu Puisiku

Keluarga ibuku berasal dari Shanghai, yang masa itu di juluki "Paris dari Timur". Ibuku sebenarnya masih keturunan Cina Perancis, dia memang cantik sekali. nenekku buyutku Ay Lan, menikah dengan laki laki perancis, tapi kakek buyutku itu tewas di bunuh tentara jepang yang menjajah cina pada waktu itu. tapi ibuku tidak pernah mengetahui wajah Ay Lan, karena semua fotonya sudah dimusnahkan. Setelah suaminya terbunuh, ia bertahan hidup di tanah air yang dia cintai dan membesarkan kedua anaknya Fai (11 ) dan Liem Swie Sian  ( 9 ), atau nenekku. Ayah Ay Lan, David Jun Tse adalah pemilik perusahaan eksport import terbesar di Tianjin. Dan terus bertambah maju.Kalau perlu tambahan modal, David Jun Tse meminta bantuan bibinya. Bibinya itu pendiri dan pemilik Bank Perempuan Shanghai. Ia selalu siap memberi bantuan dengan imbalan bagi hasil.

David Jun Tse dikarunia seorang anak perempuan dan tiga laki laki:Lanny Xiao Zheng, yang sering sakit sakitan, Tsung Dao Lee, Gao Xingjian, Shing Thung Yau, dan nenek buyutku, Ay Lan, lahir sebagai anak ke lima. Ayah buyutku juga memberi kami nama Eropa: Monica, Lewis, James, Edgar dan nenek buyutku dipanggil Clara.

Pukul 06.00, cahaya mentari telah duduk di bibir pagi, sinarnya bertepuk tangan menutupi kabut kabut tipis, dan Ay Lan bergegas ke salah satu kantornya. sebuah percetakkan dan Koran Harian kecil di Shanghai. Pagi hari merupakan waktu tersibuk di perusahaan, apalagi hari sebelumnya ia menerima begitu banyak pesanan, jadi ia tahu hari itu bakal menjadi hari yang sangat sibuk.

Ketika pertama kali menjalani usaha ini setahun sebelumnya, Ay lan telah mempersiapkan dengan sangat cermat. Ia membeli mesin cetak terbaik di Shanghai, karena berharap dapat bersaing dengan perusahaan lain. hasilnya, Ay Lan menjadi sangat sibuk gara gara pesanan yang terus mengalir.

Ia menerima berbagai jenis pesanan, merancang logo dan teks untuk kemasan susu dalam karton, botol, dan kardus. Ia juga mencetak buku, asalkan buku itu telah mendapat izin dari penjajah jepang.

Di kantornya ia melihat karyawannya, Zi Lin, Joseph Cung, dan Lao Jun sudah sibuk di mesin cetak. Jun Pei, sekretarisnya, tengah sibuk membuat kopi di dapur. sambil menyisip kopinya, Ay lan berdiskusi dengan Robert Ye Tsi dan Niang Bun tentang rancangan grafis untuk sebuah proyek baru. Ketika tiba tiba pintu depan kantornya di dobrak, dan masuklah 15 laki laki dengan sikap kaku. Seorang lelaki bertubuh jangkung berteriak," Apakah namamu Ay Lan Ling Hong atau Clara?"
Pertanyaan itu sungguh mengejutkan, karena hanya dalam hitunang  jari saja jumlah orang yang tahu nama lengkapnya.
"Ya, jawabnya lirih."
"Saya Letnan Kolonel Ichiro Tanaka dan 14 orang ini rekan saya. kami akan memeriksa tempat ini."
"Apa yang ingin anda cari?" tanya Ay Lan memberanikan diri.
"kamu yang seharusnya memberitahukan kepada kami,"jawab sang Letkol.

Seluruh sudut kantornya kemudian di obrak abrik. tempat sampah ditumpahkan, pesawat telepon di bongkar, kursi dijungkir balikkan,semua data data kantor diambil paksa. Mesin cetak menjadi sasaran berikutnya. Bukannya di cek satu persatu, mesin cetaknya malah dibongkar, terus di bawa pergi dengan truk. Ay Lan tercenung. Ia tidak bisa lagi membeli mesin cetak itu lagi. Angin pagi saat itu menikam tulang, mimpi buruk menggerimis menyapu pepohonan dan desir angin menjadi balok balok es yang menghunjam nafasnya.

Namun, lamunannya buyar, ketika sang Letkol memaksanya masuk ke mobil. Yang membuatnya kalut, ia tidak diizinkan memberitahu kedua anaknya ke mana ia akan pergi.

bersambung......


Padepokan Halimun, 04 Juli 2011
· · · Bagikan · Hapus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar