Jumat, 30 Maret 2012

Puisi Ibu ( bagian 3 )

Puisi Ibu ( bagian 3 )

oleh Andrie Enrique Ayyas Camarena pada 1 Juli 2011 pukul 20:55 ·
Puisi Ibu ( bagian 3 )


Mengenal Lebih Jauh Ibu Puisiku

ibuku bukan sekedar kumpulan kertas puisi yang bercerita tentang kehidupan. Ada magnet kuat yang membetot betot hati, saat membayangkan ibuku, wanita yang digambarkan dengan begitu "indah". Magnet yang membawaku ke tempat yang sulit dibayangkan, bahkan setelah dia ditulis dengan seribu pena sekalipun.

hari ini, ibuku menerima banyak sekali surat surat dari kantor pos. Aku tidak tahu dari siapa surat surat itu di kirim dan untuk apa. satu di antara surat surat itu memuat pesan singkat.
"kau adalah wanita yang paling cantik, sehingga aku dengan hati yang bergelora mengirimkan paket terlampir. Tolong dijual saja jika kamu tidak berkenan dan akan lebih bermanfaat untukmu dan anakmu ketimbang melingkar di jari manismu. Ibuku sangat takjub. terlekat dengan selotip pada selembar kertas surat itu: sepasang cincin kawin!

Ibuku merasakan tubuhnya  tidak karuan. berbagai pikiran dan kebingungan mencengkeram kepalanya. Gundah gulana mengacaukan tubuhnya. Tiba tiba ia merasakan rasa nyeri mengalir di sepanjang lengan dan bagian dada. Ia sadar, tampaknya paket surat tadi mengguncang hatinya.
"kenapa kau datang lagi?" bisiknya

Untuk membiayai hidup kami, ibuku membuka usaha warung makan, Warung makan Ibu Soraya namanya, seperti nama ibuku "Soraya". Walaupun hanya berdua, biaya hidup kami lumayan tinggi. ini karena aku membutuhkan banyak biaya, tidak seperti anak normal.

Ketika aku mulai bisa berjalan, semakin sulit bagi ibuku untuk meninggalkan rumah karena aku selalu ingin berjalan. Tidak bisa diam. Karenanya, ibu minta tolong pada seorang tetangga untuk menjagaku di rumah saat ibu bekerja di warung makan. Ibu tak ingin aku tertimpa masalah.

Setelah bekerja sampai malam, ibu mengajakku bermain di pagi harinya, walaupun ia masih lelah. Jika tidak hujan, ia suka membawaku ke taman. Di sana ibu membiarkanku bermain dengan bebas. Dia tidak  menolongku jika aku menabrak pohon, jatuh tersandung batu, atau menangis. Ibuku hanya mengawasiku dari jauh."kalau ibu memanjakanmu seperti ibu lain, kamu lama lama takut bertindak sendiri tanpa pertolonganku. Sedangkan ibu ingin anakku mandiri,"tuturnya. "Walaupun kamu tuna netra kamu harus bisa seperti orang biasa. Ibu yakin, Tuhan memberiku anak tuna netra bukan untuk di tangisi, tapi untuk disyukuri."

Ketika usiaku empat tahun, aku masuk TK di dekat rumah. Inilah awal hidupku bersama orang lain. Ibu harus mengantar dan menjemputku dari sekolah. Akhirnya ibu menutup warung makannya dan membuka usaha catering. Demi diriku, dia menutup warung makannya yang susah payah dia dirikan.

"Rumah makan ini dengan terpaksa kami tutup. Terima kasih banyak atas kunjungan anda selama ini.|
Tulisan ini ditempel ibuku di pintu kayu warung makan yang setiap hari dilap. Setelah menempel tulisan itu ibu mengunci pintu dan duduk di counter. sambil melihat sekeliling, air mata  ibuku mengalir di pipi."maafkan aku, ini semua  kulakukan karena harus mengurus anak. Aku tak ingin cahaya kesepian. Aku ingin menjaganya,"kata ibuku meminta maaf pada piring, mangkuk, gelas, panci yang selama ini telah ikut membantunya mencari nafkah. Ia pasti kesepian, karena tidak lagi bisa bertemu dengan banyak orang seperti ketika masih membuka warung makan."Suamiku, anakmu semakin besar dan aku yakin dia akan menjadi anak yang kuat dan mandiri,"bisik ibuku sambil memandang foto ayah yang terpasang di dinding. Air mata ibuku semakin deras mengucur malam itu.

Pagi itu, ibu membawaku ke rumah sakit. Sebulan sekali aku harus ke rumah sakit untuk kontrol kondisi tubuhku yang kadang kadang turun naik. Dr Rizal datang menemui dan memeriksa cahaya dengan sangat santun. Matanya yang sayu menunjukkan kekhawatiran atas tingginya tekanan darah dalam tubuh cahaya."Ibu, nasib cahaya bukan di tangan saya. Saya tidak bisa membebaskan penyakit cahaya. saya hanya bisa  membantu memberi obat, agar kondisi tubuh cahaya membaik kembali," katanya perlahan.
Ibuku menarik nafas lega. Meskipun ia sedikit diliputi rasa bersalah. "Sekarang, kembalilah ke rumah. beristirahatlah, semoga semua lekas menjadi baik kembali,"kata dokter yang baik hati itu menenangkan ibuku.

"Soraya,"bisik dokter dokter rizal, setelah ibuku dan aku berlalu.
"he-eh. Apa ada yang salah? Namanya bagus kan? Orangnya juga cantik."
"oh, kau Jose,kau membuatku kaget."
"memangnya kamu sudah kenal lama?"
"Anaknya pasienku,". Dokter Rizal  membuka pintu prakteknya dan mempersilahkan Dr Jose masuk.
"Omong-omong, mau ke mana kita nanti siang,"tanya Jose, sedetik setelah pantatnya menempel di sofa.
"Gordon," jawab Rizal  pendek. tak ada kata lain, karena pikirannya masih tertanam pada Soraya.
"Hei, kamu mau ke mana," tanya Jose ketika melihat Rizal berdiri dari sofa.
"kantin. Kita perlu sedikit minum kopi dan mengisap rokok hitam."
"Ho-ho-ho. Pagi yang indah."

Ketika berjalan menuju kantin Dr Jose mengeluarkan sebuah foto perempuan lusuh dari  dompetnya.
"kau semakin cantik soraya. Sudah lama aku tidak ketemu kamu."
Dr jose masih memandang foto ibuku, yang memakai setelan rok dan blazer buatan prancis, dari sutera hitam. Sebuah bros intan besar tersemat di kelepai bajunya. Seperti biasa. Ia selalu anggun.


Suara Suara Iblis dalam Puisiku


Jam 22.00 malam, di rumah Dr Rizal. Suara suara itu datang lagi tanpa peringatan. "Bunuh dirimu - Bakar dirimu,"kata mereka. Beberapa  menit sebelumnya, dia  mendengarkan kelompok musik nirvana dan guns n roses, dari  sebuah CD di samping tempat tidurnya.

Suara suara itu bernada rendah dan mendesak, mengejek, dan menertawakan, terus berbicara kepadanya dari CD kaset.
"Gantung dirimu. Dunia akan menjadi lebih baik  tanpamu. Tak ada yang baik padamu, tak ada kebaikkan sama sekali."

Setiap kali dia  berada di dekat pesawat TV,CD Tape, radio dan HP, suara suara itu menjadi semakin keras dan kuat, dan tampaknya semakin banyak jumlahnya. Mereka seakan akan sedang menulis dan menyutradarai  kisah hidupnya, menyuruhnya melakukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

dulu, ketika ayahnya  bertanya tentang apa yang kami lihat di televisi, apa yang dia ketahui, bagaimana  pendapatnya, dia melakukan apa yang diperintahkan suara suara itu: meletakkan kedua tangan menutupi telinganya  dan berbalik memunggungi dia.

ayah marah besar. lalu apa yang di katakan suara suara itu?"anak tak tahu terima kasih, lihat apa yang telah kamu lakukan. Kamu telah mengecewakan ayahmu. Orang tuamu layak mendapatkan anak yang lebih baik darimu."

lalu, ketika ayah dan ibunya  memberitahuku bahwa mereka sedang menantikan seorang bayi, suara suara itu lebih dulu tahu. Mereka telah memastikan bayi itu laki laki. mereka membuat seakan akan bayi itu bicara denganya.
"aku akan datang. Aku akan lahir,"calon adiknya  berbisik dengan bengis dari dalam perut ibuku yang membesar.
"Kamu harus pergi!"

"Bakar dirimu. Bunuh..bunuh..buat apa kau hidup..!"
"Oke, aku akan membakar diri.....aku akan gantung diri. Ya, ya, aku akan bunuh diri." Saat itu bulan agustus. Setelah aku mendengar ibuku menjerit dan ayahku mengguncang guncang tubuhku, barulah aku sadar bahwa aku  telah memuntahkan kata kata itu di ruang keluarga di depan seluruh keluargaku.

malam ini, suara suara itu datang lagi, dengan bayangan  bayangan  aneh: bentuk bentuk tidak jelas yang bergerak di depan mata pikiranya. terkadang, bayangan bayangan itu muncul lebih jelas , tapi hanya selama  beberapa detik. bayangan bayangan visual datang dan pergi, tapi suara suara itu selalu menemaninya - kadang meraung di telinga, kadang berceloteh di latar belakang. Semakin lama dia  semakin cenderung mematuhi perintah perintah mereka.

Suara suara itu membesarkan volumenya dan mengejeknya. 
"ibu dan ayahmu ingin kau lenyap dari kehidupan mereka." 
"Semua orang membencimu..Buat apa kau hidup lagi.Tidak berguna!"
Pelan pelan dia mulai mempercayai pesan suara itu bahwa semua orang mengingkan dia mati - Semua orang!"

Dia  pun lari dari rumah. Dia  lari ke jalanan. malam itu, dia  melakukan dua  percobaan untuk mengakhiri hidupnya. Pertama dia  berdiri  di atas kursi, lalu mengikat tali itu ke lahernya . namun, dia tak berhasil menendang kursi itu supaya jatuh. Dia  gagal.Dia  turun dari kursi. Dengan air mata bercucuran di wajah, dia  mencari cairan bahan bakar dan menuangkan ke kepala. Dia  tak sanggup menyalakan korek dan membakar dirinya.


Bersambung....

Padepokan Halimun, 1 Juli 2011
· · · Bagikan · Hapus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar