Rabu, 04 April 2012

Pelangi Lisa

Pelangi Lisa

oleh Andrie Enrique Ayyas Camarena pada 1 Desember 2010 pukul 21:31 ·
 
Pelangi Lisa

Adzan Ashar baru saja  turun. Sore mulai membentangkan warna senjanya. Aroma khas dari putik-putik rerumputan mengikis lingkaran emas merah langit sore itu.
Dengan rambut hitam gemuk yang di kuncir kuda dan dengan kehalusan khas kulit kanak-kanak yang seolah menjadi bersinar apabila mata cokelat bening itu membola, pita merah yang mengombak itu sungguh merupakan perpaduan yang keserasiannya  tiada tara. Dalam pandangan Bibie Ira, bocah kecil Lisa tak ubahnya bagai  putri raja dari negeri dongeng.
Pita itu telah menemukan tempat yang pas, begitulah Ira pikir. Dan ia menerima lonjakan-lonjakan Lisa dengan wajah yang seolah telah menyelesaikan sebuah pekerjaan yang rampungnya demikian lama.
"Manis sekali, Lisa. kamu sungguh amat manissss.....," dan ia membungkuk, menyelusupkan dagunya  ke leher bocah yang tak lepas-lepasnya mengagumi diri sendiri di cermin yang telah lumayan buram di makan usia.
"Lisa manisss, Lisa maniiissss...! demikian si kecil bersorak."Bibie, pita  ini untuk Lisa?"
Bibie Ira mengangguk. "Nah, ayo. Apa yang mesti Lisa ucapkan atas pemberian seseorang?"
"Terima kasih. Lisa mesti mesti mengucapkan terima  kasih." Dengan gegas, diraihnya tangan Ira."Terima kasih, Bibie Ira."
Sekali lagi Ira mengengguk. Cerdas nian anak ini, pikirnya. "Ayo Lisa. Barangkali Nenek sudah menunggu. Mana tahu beliau menduga kalau-kalau kamu belum makan siang.
"Ah, Kak Wirma, Lisa sekarang sudah tambah besar, jika kau tidak cepat pergi, mungkin kau bisa memandang anakmu Lisa sekarang ini, desah Ira dalam hati."
Senin sore pertengahan tahun yang cerah, dan pohon kapuk tak henti-hentinya melepaskan seratnya yang halus lantas beterbangan dibawa angin. Ada yang membumbung tinggi, tapi ada juga yang menghentak turun lalu pada ketinggian tertentu kembali dihembus angin sehingga bergerak sejajar dengan rundukan rerumputan. Dan pada jalan setapak yang menyisir di persawahan desa, Ira membiarkan Lisa berlari-lari kecil mendahuluinya. Kupu-kupu dan capung beterbangan ramai, membuat bocah perempuan tujuh tujuhan tahun itu terkekeh-kekeh.
"Lihat kupu-kupu yang itu, Bibie Ira. warna sayapnya seperti pelangi. Bisakah kita tangkap?"
"Tak boleh. tak boleh Lisa. jangan ditangkap."
langkah si bocah terhenti. Ia membalik."Kenapa tak boleh, Bie?
"Setiap mahkluk di beri kebebasan oleh Tuhan untuk bergerak. Bila kita menahan satu kupu-kupu itu pada suatu tempat,berarti kita  telah menyakitinya. Coba, bagaimana perasaan Lisa  kalau seandainya nenek tidak mengijinkan Lisa kemana-mana? Kalau seandainya nenek hanya mengunci Lisa dalam kamar Lisa?
"Tak mau. Lisa tak mau."
"Nah, begitu juga dengan kupu-kupu."
Mata bening cokelat itu mengerjap-ngerjap. perlahan sekali dagunya bergerak naik turun, mengangguk-angguk. Sebentar kemudian ia telah berbalik, kembali melangkah riang seraya mata bening cokelatnya berkelebat kian kemari:mencari-cari si pelangi?
Di belakang si bocah, bilah bibir Ira tak bosan-bosannya mengurak senyum. Pada  kedewasaannya  yang berangkat siang, tercermin jelas kesenangan yng berlebihan pada si bocah. Seandainya sang waktu seperti pita kaset yang bisa di putar surut, maka kasih sayangnya ke pada Lisa akan terbeber-tumpah dalam misteri rasa yang tak terjelaskan. Setiap kemudaan adalah gelora,dan Ira telah menyerahkan gelora itu kepada harapan.
"Lihat, mata perempuan itu segera menbayangkan sesuatu. Tapi, Bibie, lihat kupu-kupu yang itu. warna sayapnya seperti selendang kepunyan nenek. Kita tak boleh menangkapnya, ya?" si bocah mengusik.
"Iya Lisa manis,kata Bibie Ira sambil tersenyum."
Ira memandang ke langit senja,bibir Ira menyungging senyuman teramat manis. Bayang-bayang masa kecilnya bersama Deny, laki-laki yang di cintainya sejak kecil tergambar di sana.
mereka berlarian hingga  jauh menaiki bukit dan masuk ke dalam hutan kecil. Dengan nakalnya  mereka mengusik bunga-bunga  teratai yang bermekaran sambil tertawa-tawa, tak takut oleh kesenyapan alam di sekelilingnya. Sesekali Deny memandang lama sekali. lalu menuding-nuding pipi Ira yang tampak kemerah-merahan seperti apel yang ranum.
"kamu tambah cantiiikkk sekali kalau ujung-ujung pipimu memerah. seperti bidadari yang mandi kolam teratai itu.
"Iiiihh, bukan bidadari, Deny,melainkan periiii....hhhiiihhhhh."
dan berlarilah dua anak SD itu susul menyusul di sertai tawa  yang berderai. tanpa di sadari Ira tertawa  kecil. Air mukanya berbinar hanyut oleh arus masa lalunya. Meski sudah lama, tapi masih demikian utuh tercetak di benaknya.
kenangan manis itu lekas sirna  tatkala matanya berpulang pada kenyataan  sekarang............................................


To Be Continue.....

Padepokan Halimun, 1 Desember 2010

· · · Bagikan · Hapus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar